Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Menimbang dan Mengevaluasi Keberadaan Perusahaan Pinjol

Kompas.com - 08/06/2023, 08:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berkaca pada krisis pinjol di China tahun 2018, otoritas terkait langsung was-was, karena jika Ant International kolaps, maka bank-bank dan pelaku pasar uang yang telah membeli asset finansial Ant International akan terseret bersamanya.

Karena itu, otoritas terkait meminta Ant International untuk memenuhi syarat minimal 20 persen aset finansialnya dipegang sendiri.

Saya cukup yakin di Indonesia eksposur keuangan pinjol pun demikian. Dana yang didapat perusahaan pinjol, baik langsung atau tidak langsung, sebagian besar berasal dari sektor perbankan konvensional.

Mengapa? Karena dari sisi pengenaan bunga, investasi di perusahaan pinjol itu sangat menjanjikan.

Bunga kredit di sektor perbankan konvensional sangat terikat dengan suku bunga bank sentral. Jadi kisaran bunga kredit di sektor perbankan, paling banter, hanya maksimum 13 persen per tahun.

Sangat bisa dibayangkan, dengan pengenaan bunga kredit mikro yang sangat besar, bisa sampai 80 persen setahun, yang diterapkan perusahaan pinjol sangat menggiurkan.

Perusahaan pinjol bisa dengan mudah menawarkan "return" investasi ke pemodal, katakanlah perbankan, sekitar 20-30 persen, jika bunga yang dikenakan ke nasabah adalah 80 persen, karena selisihnya masih sangat besar untuk perusahaan pinjol itu sendiri.

Artinya, secara bisnis, perusahaan pinjol menawarkan peluang investasi yang sangat menguntungkan bagi para investor.

Namun persoalan pinjol bukan semata urusan bisnis yang gurih nan menggiurkan. Bukan pula sekadar masalah kesehatan kredit di satu sisi dan prosedur plus tata kelola kredit mikro perusahaan pinjol di sisi lain. Tapi lebih buruk dari itu.

Perusahaan pinjol adalah manifestasi dari "digitalisasi bisnis lintah darat" yang jelas-jelas ujungnya merugikan masyarakat.

Jika kreditnya tidak bermasalah, tagihan berjalan lancar, bunga yang disedot dari keringat para nasabah sangatlah besar. Jumlahnya sungguh sangat tidak bermoral.

Model bisnis ‘lintah darat’ ini, lebih buruk dari model bisnis "student loan" di Amerika Serikat, di mana tumpukan kredit pendidikan tersebut kini menjadi salah satu isu penting di negeri Paman Sam.

Mengapa? Karena mantan mahasiswa masih terus dibebani kewajiban melunasi utang pendidikannya, bertahun-tahun setelah mereka tamat kuliah.

Sampai awal tahun ini, total student loan di Amerika Serikat mencapai angka 1,7 triliun dollar AS, dengan beban rata-rata per orang sekitar 28.000 dollar AS.

Jumlah tersebut harus dicicil oleh para alumnus perguruan tinggi yang menggunakan jasa keuangan student loan bertahun-tahun setelah mereka keluar dari kampus, yang semestinya bisa mereka gunakan untuk menyiapkan masa depan yang lebih baik.

Sangat bisa dibayangkan, student loan adalah produk perbankan konvensional, tapi jeratannya kepada generasi muda Amerika Serikat sungguh sangat terasa.

Berkat tagihan yang terus menjadi beban bertahun-tahun setelah menuntaskan perkuliahan, generasi muda di sana bernasib tak berbeda dengan generasi muda kita di sini.

Mereka kekurangan dana untuk investasi hari tua, untuk investasi asuransi kesehatan, untuk membeli rumah, membiayai pernikahan, dan kekurangan dana kas cadangan, untuk masa darurat.

Dengan kata lain, generasi muda di sana dan di sini akhirnya ada dalam persoalan yang sama, yakni rentan secara keuangan.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com