Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Solusi Fiskal Tangani Krisis Tempat Tinggal

Kompas.com - 14/06/2023, 14:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KITA kini menghadapi ancaman krisis hunian. Tahun 2022, tercatat 12,7 juta penduduk dari 16 persen rumah tangga nasional belum memiliki tempat tinggal sendiri. Krisis ini pun diproyeksikan akan semakin parah seiring bertambahnya jumlah penduduk usia muda yang kesulitan memperoleh hunian.

Dalam peresmian Hunian Milenial untuk Indonesia pada 13 April lalu, Menteri BUMN, Erick Thohir mengungkapkan, 81 juta warga dari kelompok milenial belum mempunyai rumah.

Tingginya Harga Properti Hunian

Laju inflasi properti yang jauh melampaui kenaikan upah menjadi penyebab utama kian tak tergapainya harga hunian. Tahun lalu saja, kenaikan upah minimum rata-rata hanya sebesar 1,09 persen, sementara indeks harga properti nasional justru naik 5,8 persen.

Baca juga: Jakarta Krisis Hunian

Di kawasan metropolitan, masalah itu diperparah dengan tak hentinya arus urbanisasi saat kepadatan penduduk juga sudah tinggi. Di Jakarta, misalnya, kebutuhan tempat tinggal yang terus meningkat membuat Ibu Kota negara ini menjadi provinsi dengan krisis hunian terparah, di mana hanya 56,13 persen penduduknya yang mampu memiliki hunian sendiri.

Ketersediaan lahan hunian yang tak sebanding dengan kebutuhan tempat tinggal menjadi salah satu faktor pendorong tingginya harga properti, khususnya di daerah perkotaan. Menemukan solusi masalah ini pun tak semudah memahami penyebabnya.

Baca juga: Kementerian PUPR Anggarkan Rp 6,19 Triliun untuk Ditjen Perumahan, Buat Apa Saja?

Pemerintah sebenarnya telah melakukan beragam upaya, seperti subsidi kepemilikan rumah dan program transmigrasi penduduk. Namun, upaya-upaya ini tampaknya tak begitu efektif karena jumlah kepemilikan hunian hanya meningkat 1,52 persen selama dua dekade terakhir.

Kendati demikian, sejatinya ada alternatif kebijakan lain yang walau terdengar kontras, dapat efektif meredakan krisis hunian yang kian meningkat.

Peran Kebijakan Fiskal

Meski sering dianggap sebagai instrumen pendapatan semata, kebijakan pajak bumi dan bangunan (PBB) atau yang lebih awam dikenal sebagai pajak properti, dapat menjadi alat mitigasi untuk menciptakan pasar perumahan yang lebih baik.

Pertama, pengaturan PBB yang lebih ketat dapat mengendalikan investasi properti yang merugikan masyarakat. IMF atau Dana Moneter Internasional (2018) dan Forbes (2020) menemukan bahwa praktik investasi menjadi salah satu faktor utama tingginya harga hunian sehingga sulit dijangkau masyarakat yang benar-benar membutuhkan tempat tinggal.

Penyesuaian skema tarif PBB dari yang saat ini ad valorem atau sesuai nilai jual objek pajak (NJOP) properti, menjadi progresif sesuai jumlah kepemilikan dapat mencegah investor menimbun banyak properti. Skema progresif seperti ini telah lama diterapkan pada pajak kendaraan bermotor untuk menekan kemacetan dan polusi.

Tarif yang lebih tinggi juga dapat dikenakan bagi pemilik asing untuk mengurangi persaingan bagi masyarakat dalam negeri. Meski Indonesia sendiri telah membatasi secara ketat terkait kepemilikan properti oleh orang asing, kebijakan ini tetap memiliki relevansi.

Singapura, contohnya, pada 26 April lalu secara tiba-tiba menaikkan tarif pajak properti bagi orang asing menjadi dua kali lipat hingga mencapai 60 persen, yang menjadi tarif tertinggi di dunia. Langkah mengejutkan ini diambil untuk mengurangi investasi properti oleh warga asing yang dalam dua tahun terakhir mencapai tiga persen dari total transaksi properti hunian.

Kedua, penting juga diakui bahwa PBB berkontribusi besar pada pendapatan pemerintah daerah setempat. Di kawasan metropolitan yang padat permukiman seperti Jakarta, Palembang, dan Depok, penerimaan pajak properti ini telah menyumbang masing-masing Rp 8,2 triliun, Rp 260 miliar, dan Rp211 miliar bagi anggaran daerah.

Jumlah itu dapat dialokasikan secara khusus untuk menambah anggaran subsidi rumah, yang pada APBN 2023 ditetapkan sebesar Rp 30,38 triliun untuk 230 ribu unit hunian.

Praktik alokasi khusus seperti ini bukanlah hal baru karena sejak tahun 2018, pemerintah provinsi juga diwajibkan untuk menganggarkan 37,5 persen penerimaan pajak rokok untuk program jaminan kesehatan.

Terakhir, pelimpahan kewenangan PBB atas perumahan kepada pemerintah kabupaten/kota memungkinkan penerapan tarif berbeda-beda antar daerah. Hal ini berpeluang menyelesaikan krisis hunian akibat tak seimbangnya kepadatan penduduk.

Tarif yang lebih tinggi di daerah padat penduduk dapat mendorong masyarakat bertransmigrasi ke daerah kurang padat dengan tarif yang lebih rendah. Karena itu, dibutuhkan reformasi atas ketentuan PBB yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Hal itu menuntut perbaikan mekanisme pemungutan dan koordinasi antar-pemerintah daerah. Dengan reformasi fiskal ini, kita mestinya dapat mencegah krisis hunian melalui sistem pemajakan properti yang lebih adil.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com