Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Tambang Nikel dan Dampak Deforestasi

Kompas.com - 17/07/2023, 16:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJARAH pertambangan dalam kawasan di Indonesia sudah ada sejak negara ini berdiri, baik yang sifatnya legal maupun ilegal.

Secara regulasi, semua kegiatan pertambangan dalam kawasan yang legal harus patuh dan tunduk dengan undang-undang (UU) tentang kehutanan.

Aturan tersebut, yakni UU No. 5/1967 yang direvisi UU No. 41/1999 dan kemudian disempurnakan dengan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang Kehutanan berserta turunannya dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK).

Secara regulasi, pertambangan legal diizinkan/diperbolehkan dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Khusus untuk kegiatan pertambanagan di kawasan hutan lindung diperbolehkan/diizinkan, namun dilaksanakan secara selektif.

Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan, dilarang.

Dalam Pasal 38 ayat (1) UU no. 41/1999 disebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

Kegiatan pembangunan nonkehutanan yang dimaksud adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jalan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.

Mekanisme yang ditempuh dalam kegiatan pertambangan termasuk pertambangan nikel dalam kawasan hutan adalah melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dengan syarat dan ketentuan dalam turunan UU (PP maupun Permen) dan diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Begitu strategisnya kegiatan pertambangan di kawasan hutan dalam memberikan dan menyumbang pendapatan negara, sampai–sampai pada tahun 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menganulir UU No. 41/1999 dengan Perpu Nomor 1/2004 pada 11 Maret 2004, untuk menyelesaikan tumpang-tindih areal pertambangan dengan hutan lindung sekaligus mengakomodasi izin tambang bagi 13 perusahaan untuk melanjutkan kegiatan produksinya.

Perpu ini dibuat dalam rangka memberi kepastian kepada investor karena pada 2004 merupakan tahun investasi.

Perpu tersebut menambah ketentuan baru dalam UU 41/1999, terutama pasal 83a. Dalam pasal itu disebutkan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya UU 41/1999, tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.

Jadi, ekspansi nikel besar-besaran yang dikembangkan pemerintah Indonesia yang dikhawatirkan akan memicu deforestasi hingga mencapai 25.000 hektar di berbagai wilayah di Indonesia (Kompas, 14/7/2023); sebenarnya bermakna ganda.

Di satu sisi, secara regulasi pembukaan tambang secara besar-besaran sah-sah saja karena melalui mekanisme sah dan deforestasi yang akan terjadi sudah diperhitungkan dari awal perizinan (deforestasi legal).

Namun di sisi lain, kekhawatiran peneliti LSM Auriga Nusantara- Dedy Sukmara- tentang masifnya pengembangan kendaraan listrik yang dipandang sebagai kendaraan transportasi ramah lingkungan justru berpotensi mengancam kelestasrian hutan alam- ada benarnya juga.

Sebab, ekspansi pertambangan nikel untuk kebutuhan bateri kendaraan listrik telah menyebabkan deforestasi di berbagai wilayah di Indonesia.

Perizinan pertambangan nikel hingga 2023 berada di urutan kedua setelah emas dengan luas hampir 900.000 hektar (ha). Entitas pertambangan nikel menjadi yang terbanyak dengan jumlah 319 perizinan.

Data terakhir dari Kementerian Energi dan Sumber Daya mineral (ESDM) menunjukkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia.

Status tahun 2023, sumber daya nikel di Indonesia 17, 33 miliar ton dengan cadangan 5,03 miliar ton.

Konstelasi Tambang Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan pemetaan tutupan tambang tahun 2000-2022 yang dilakukan Auriga, secara keseluruhan luas lubang pertambangan di Indonesia cenderung mengalami tren kenaikan.

Luas tambang nikel untuk nikel juga meningkat secara signifikan sejak 2011. Analisis Auriga juga menunjukkan secara kumulatif dalam 20 tahun terakhir, sebanyak 24,811 hektar lahan hutan dibuka karena pertambangan nikel.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com