Kolom Biz
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com untuk edukasi mengenai pertambangan di pulau kecil
S Witoro Soelarno
Pengamat Pertambangan dan Lingkungan Hidup

Penulis adalah pengamat pertambangan dan lingkungan hidup, berpengalaman 30 tahun di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, dan 15 tahun di industri pertambangan sebagai eksekutif maupun advisor.

Dilematika Pertambangan di Pulau Kecil

Kompas.com - 05/09/2023, 18:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DATA yang dilaporkan Kelompok Pakar PBB untuk nama-nama Geografis (UN Group of Expert on Geographical Names/UNGEGN) lewat sidang yang digelar di New York pada 3-7 Juni 2021 menyebut jumlah pulau di Indonesia mencapai 16.771.

Dari jumlah tersebut, 1.709 pulau (10,2 persen) di antaranya merupakan yang berpenduduk, sementara 15.062 (89,8 persen) sisanya tidak berpenduduk alias pulau kosong.

Badan Informasi Geospasial (BIG) juga melaporkan, Indonesia kini memiliki 17.504 pulau dengan 16.056 memiliki nama, dan sisanya 1.448 belum memiliki nama.

Khusus mengenai pulau kecil, yaitu pulau dengan luas kurang dari 2.000 kilometer persegi (km2)—merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 juncto UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil—Indonesia memiliki 13.466 pulau kecil dengan 13.300 di antaranya belum bernama dan berpenghuni.

Menariknya, ribuan pulau yang mengisi daratan Indonesia itu sebenarnya hanya 24,7 persen dari total luas wilayah Tanah Air saja, sementara 75,3 persen sisanya adalah laut.

Rinciannya sebagai berikut, total luas wilayah Indonesia 7,7 juta kilometer persegi (km2), meliputi luas laut teritori 3,25 juta km2, luas laut Zona Ekonomi Eksklusif 2,55 juta km2, dan luas daratan 1,90 juta km2.

Menggali potensi pulau kecil dan perairan laut Indonesia

Ditinjau dari luasnya wilayah, Indonesia memiliki potensi luar biasa terhadap sumber daya alam (SDA).

Potensi SDA bisa jadi jauh lebih tinggi daripada yang di-declare selama ini. Besar kemungkinan, potensi luar biasa itu berada di laut dan pulau-pulau kecil yang selama ini masih belum terjamah.

Kekayaan mineral logam, misalnya, hasil inventarisasi menunjukkan bahwa Indonesia kaya akan nikel. Bahkan, Indonesia disebut sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia.

Kemudian menyusul timah, tembaga, dan alumunium atau yang lebih dikenal sebagai bauksit. Semua jenis mineral logam inilah yang menjadi andalan untuk menjadikan “Indonesia Maju 2045”.

Sebenarnya, masih ada jenis logam lain yang merupakan jenis mineral turunan dari logam- logam utama tersebut, yaitu logam tanah jarang (rare earth) yang mempunyai nilai tinggi untuk industri ataupun pertahanan negara.

Sayangnya, hingga kini Indonesia belum melakukan inventarisasi mineral logam di dasar laut, kecuali sebagian timah yang ada di sekitar laut wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk.

Inventarisasi mineral logam di pulau kecil pun demikian, masih sangat terbatas. Padahal, inventarisasi untuk pemutakhiran data kekayaan negara mutlak perlu dilakukan agar terpotret jelas nilai aset dan kekayaan bangsa.

Satu-satunya jalan untuk menginventarisasi adalah melalui eksplorasi.

Perlu diketahui, pulau-pulau kecil juga merupakan aset yang dapat dimanfaatkan. Saat ini, pemerintah memberikan hak pengelolaan pada swasta.

Kebijakan untuk melakukan eksplorasi SDA mineral, termasuk migas dan batu bara di Indonesia dengan mengandalkan pihak swasta bukan tanpa pertimbangan.

Hal itu dilakukan karena besarnya biaya yang diperlukan di samping tingkat risiko kegagalan yang tinggi. Di samping itu, negara mendapat keuntungan berupa penerimaan negara bukan pajak yang dapat dimanfaatkan kembali untuk kesejahteraan masyarakat.

Inventarisasi untuk menggali potensi kekayaan SDA

Melihat kembali riwayatnya, isu mengenai akses untuk eksplorasi mineral di wilayah laut dan pulau kecil mulai menghangat sejak akhir 1990an.

Kala itu, penulis sendiri ikut terlibat mendiskusikan sinkronisasi kebijakan lintas sektor agar bisa mengoptimalkan misi yang harus dijalankan oleh setiap kementerian terkait sesuai tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi).

Diskusi yang cukup intens berlangsung sejak kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih berlokasi di Jalan MT Haryono Kav. 52-53 Jakarta Selatan, yaitu sejak dilakukan penyusunan konsep hingga diterbitkannya Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan No 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat.

Kebijakan untuk mengatur pengelolaan pulau-pulau kecil ini terus berkembang, terakhir melalui UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kemudian diubah melalui UU Nomor 1 Tahun 2014.

Peulis sendiri berpendapat bahwa kebijakan sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) masih terakomodasi dengan baik dalam UU tersebut dan sangat yakin tidak mungkin ada kebijakan pemerintah yang menghalangi akses untuk pemanfaatan kekayaan yang dimiliki negara.

Negara telah diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa bumi dan air dan kekayaa alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Untuk mewujudkan amanah tersebut, potensi kekayaan yang dimiliki negara harus diketahui terlebih dahulu, yaitu melalui eksplorasi dan inventarisasi secara tuntas.

Mendudukkan dinamika pertambangan di pulau kecil

Namun, mengikuti perkembangan terakhir, eksplorasi dan inventarisasi pun menghadapi tantangan, yakni tingginya tekanan terhadap pelaksanaan investasi pertambangan oleh swasta yang perizinannya sudah terbit.

Hal itu mendorong penulis untuk mengangkat lagi isu penggunaan pulau kecil lengkap dengan riwayat dan tujuannya. Harapannya, masyarakat dapat melihat secara utuh dan tidak terperangkap pendapat dari satu sisi yang merisaukan.

Apalagi, jika sampai menurunkan kepercayaan rakyat kepada Pemerintah yang pada akhirnya merugikan masyarakat sendiri.

Masyarakat sebaiknya lebih kritis untuk dapat melihat struktur permasalahan.

Kalau dilihat, akar masalah yang berkaitan dengan dispute pertambangan di pulau-pulau kecil beririsan dengan tiga pertanyaan berikut.

Pertama, sejauh mana pemerintah—selaku pemberi izin pertambangan di pulau kecil—menjalankan tugas pembinaan dan pengawasan, utamanya terkait perlindungan fungsi lingkungan?

Kedua  apakah kasus yang sedang ramai, salah satunya di Sulawesi Tenggara, akan berkembang dan memengaruhi kegiatan ataupun investasi di pulau kecil lainnya?

Terakhir, apa dampaknya terhadap negara?

Tiga pertanyaan tersebut hanya pemantik untuk kita sebagai masyarakat memahami persoalan ini lebih dalam dan utuh sehingga punya perspektif yang berimbang terhadap aktivitas dan perizinan pertambangan di pulau kecil dan perairan laut Indonesia.

 

Kolom ini merupakan tulisan pertama dari tiga tulisan seri Edukasi Pertambangan di Pulau Kecil.


Terkini Lainnya

Bicara soal Pengganti Pertalite, Luhut Sebut Sedang Hitung Subsidi untuk BBM Bioetanol

Bicara soal Pengganti Pertalite, Luhut Sebut Sedang Hitung Subsidi untuk BBM Bioetanol

Whats New
Bahlil Dorong Kampus di Kalimantan Jadi Pusat Ketahanan Pangan Nasional

Bahlil Dorong Kampus di Kalimantan Jadi Pusat Ketahanan Pangan Nasional

Whats New
Luhut Sebut Starlink Elon Musk Segera Meluncur 2 Minggu Mendatang

Luhut Sebut Starlink Elon Musk Segera Meluncur 2 Minggu Mendatang

Whats New
Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Sedang Dikaji, MTI Sebut Tak Perlu Diberi Subsidi PSO

Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Sedang Dikaji, MTI Sebut Tak Perlu Diberi Subsidi PSO

Whats New
Bahlil Ungkap 61 Persen Saham Freeport Bakal Jadi Milik Indonesia

Bahlil Ungkap 61 Persen Saham Freeport Bakal Jadi Milik Indonesia

Whats New
Cadangan Beras Pemerintah 1,6 Juta Ton, Bos Bulog: Tertinggi dalam 4 Tahun

Cadangan Beras Pemerintah 1,6 Juta Ton, Bos Bulog: Tertinggi dalam 4 Tahun

Whats New
Intip Rincian Permendag Nomor 7 Tahun 2024 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Berlaku 6 Mei 2024

Intip Rincian Permendag Nomor 7 Tahun 2024 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Berlaku 6 Mei 2024

Whats New
Kebijakan Makroprudensial Pasca-Kenaikan BI Rate

Kebijakan Makroprudensial Pasca-Kenaikan BI Rate

Whats New
Peringati May Day 2024, Forum SP Forum BUMN Sepakat Tolak Privatisasi

Peringati May Day 2024, Forum SP Forum BUMN Sepakat Tolak Privatisasi

Whats New
MJEE Pasok Lift dan Eskalator untuk Istana Negara, Kantor Kementerian hingga Rusun ASN di IKN

MJEE Pasok Lift dan Eskalator untuk Istana Negara, Kantor Kementerian hingga Rusun ASN di IKN

Whats New
Great Eastern Life Indonesia Tunjuk Nina Ong Sebagai Presdir Baru

Great Eastern Life Indonesia Tunjuk Nina Ong Sebagai Presdir Baru

Whats New
Dukung Kemajuan Faskes, Hutama Karya Percepat Pembangunan RSUP Dr Sardjito dan RSUP Prof Ngoerah

Dukung Kemajuan Faskes, Hutama Karya Percepat Pembangunan RSUP Dr Sardjito dan RSUP Prof Ngoerah

Whats New
Bantuan Pangan Tahap 2, Bulog Mulai Salurkan Beras 10 Kg ke 269.000 KPM

Bantuan Pangan Tahap 2, Bulog Mulai Salurkan Beras 10 Kg ke 269.000 KPM

Whats New
Menperin: PMI Manufaktur Indonesia Tetap Ekspansif Selama 32 Bulan Berturut-turut

Menperin: PMI Manufaktur Indonesia Tetap Ekspansif Selama 32 Bulan Berturut-turut

Whats New
Imbas Erupsi Gunung Ruang: Bandara Sam Ratulangi Masih Ditutup, 6 Bandara Sudah Beroperasi Normal

Imbas Erupsi Gunung Ruang: Bandara Sam Ratulangi Masih Ditutup, 6 Bandara Sudah Beroperasi Normal

Whats New
komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com