Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wasiaturrahma
Guru Besar di FEB Universitas Airlangga

Pengamat Moneter dan Perbankan, Aktif menulis beberapa buku, Nara sumber di Radio dan Telivisi ,seminar nasional dan internasional juga sebagai peneliti

Sulit Prediksi Kebijakan Bunga Bank Sentral

Kompas.com - 12/02/2024, 10:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUKU bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) selalu dijadikan patokan stabilitas ekonomi dengan tujuan mengendalikan inflasi untuk menjaga daya beli masyarakat, menstabilkan nilai tukar mata uang, dan pertumbuhan ekonomi.

Indonesia bukan negara corporation seperti negara-negara maju di mana kebijakan suku bunga Bank sentral memengaruhi kinerja bisnis dan keuangan mereka. Ekonomi kita didominasi oleh UMKM yang leverage-nya sangat kecil.

Sementara bagi big corporates dengan posisi "monopolistik" mereka sepertinya tidak terlalu ambil pusing dan dihadapi dengan biasa naik turunnya BI rate. Sedangkan BI repo rate di Indonesia lebih diarahkan pada rupiah-dollar exchange rate.

Tujuan BI repo rate dinaikkan, untuk menahan rupiah agar tidak tergelincir terlalu dalam lagi terhadap dollar AS.

Namun hal ini juga tidak langsung membuat ampuh, sebab masalahnya bukan ada di fundamental ekonomi kita, tetapi masalah tersebut berasal dari Amerika Serikat dengan kebijakan interest rate the fed.

Mengapa BI Rate sulit diprediksi?

Secara teori suku bunga dengan surat-surat berharga mempunyai hubungan negatif. Praktiknya, dalam perekonomian terbuka, suku bunga pasar tidak selalu mengikuti kebijakan suku bunga yang dinaikkan dan diturunkan oleh Bank Sentral.

Penurunan BI rate dapat mendorong kenaikan harga obligasi dan pada saat yang sama dapat memicu aksi ambil untung dan terjadi pelarian modal.

Memprediksi dampak kebijakan suku bunga Bank Sentral terhadap aliran modal agak sulit. Kesulitan ini karena perbedaan pandangan antara kebijakan fiskal dan moneter.

Inovasi keuangan dan aliran modal yang masif, menyebabkan sulitnya menjaga kestabilan moneter.

Alan Greenspan adalah salah satu orang pertama yang menyadari kesulitan ini. Ketepatan dia mencatat bahwa ketika dia menaikkan suku bunga dana federal dari 1 persen menjadi 5,25 persen antara 2004 dan 2006, suku bunga jangka panjang dan suku bunga hipotek tetap hampir tidak bergerak.

Kebijakan pengetatan moneter ala Greenspan yang terlambat tidak membuahkan hasil. Ini bukanlah hal yang dapat diprediksi oleh text book saja.

Secara teori, suku bunga jangka panjang dan suku bunga hipotek seharusnya naik seiring dengan kenaikan suku bunga. Greenspan menyebutnya sebagai “teka-teki pasar obligasi”.

Perekonomian dunia yang terintegrasi, tingkat suku bunga pinjaman AS semakin ditentukan oleh pasar global. Dalam pasar global tersebut terdapat surplus tabungan dari Jepang, Jerman, Tiongkok, dan sejumlah negara berkembang.

Semua tabungan itu harus diinvestasikan di suatu tempat, dan pada akhirnya, digunakan untuk membeli surat hutang yang dihasilkan oleh AS.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com