Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penerimaan Negara Berpotensi Hilang Rp 15,67 Triliun akibat Kebijakan Harga Gas Murah

Kompas.com - 28/02/2024, 19:42 WIB
Yohana Artha Uly,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memperkirakan potensi kehilangan penerimaan negara akibat kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) mencapai 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 15,67 triliun (kurs Rp 15.676 per dolar AS) di 2023.

Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mengatakan, hilangnya penerimaan negara tersebut dikarenakan pemerintah harus mengisi gap atau selisih antara HGBT yang sebesar 6 dollar AS dengan harga pasar.

Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) 121 Tahun 2020, bahwa penerimaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tidak boleh berkurang alias kept-whole untuk memasok gas murah kepada industri. Bila harga gas diturunkan, maka penerimaan negara yang dikurangi.

Baca juga: Soal Kelanjutan Harga Gas Murah, Kementerian ESDM Minta Kemenperin Evaluasi Industri Penerima

"Kalau saya mencatat mungkin jumlahnya di tahun 2023 ini bisa mencapai lebih dari 1 miliar dollar AS potensi penurunan penerimaan negara," ujarnya dalam webinar Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik, Rabu (28/2/2024).

Kendati begitu, Kurnia menekankan, potensi kehilangan penerimaan negara itu masih hitungan awal sebab pelaksanaan kebijakan harga gas murah sepanjang tahun lalu sedang dievaluasi.

Ia menuturkan, penerimaan negara yang berkurang itu harapannya bisa dikompensasi dengan adanya peningkatan kinerja dan dampak dari multiplier effect yang dirasakan dari industri-industri yang memanfaatkan kebijakan harga gas murah.

"Ini sedang dilakukan evaluasi untuk bisa nanti merumuskan kebijakan melanjutkan HGBT ini ke depan," kata dia.

Menurut Kurnia, sepanjang tahun lalu, realisasi serapan HGBT mencapai sekitar 95-96 persen. Ia bilang, realisasi yang tidak mencapai 100 persen itu disebabkan sejumlah faktor.

Seperti, kondisi di sisi hulu, di mana rencana produksi mengalami kendala operasional sehingga mengakibatkan alokasi yang sudah direncanakan menjadi sedikit fluktuasi.

Kemudian di sisi hilir, ada beberapa industri yang ternyata belum mampu mengatasi kendala-kendala operasional sehingg tidak berpoduksi, atau terjadinya peralihan penggunaan dari penggunaan gas ke energi alternatif lainnya.

"Faktor yang berpengaruh kepada realisasi serapan volume, ada juga faktor ketidakcukupan bagian negara untuk kept-whole bagian kontraktor," jelas Kurnia.

Adapun kebijakan gas murah ini dinimati oleh 7 sektor industri yakni pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Kebijakan HGBT sendiri sudah berjalan sejak 2020 dan berakhir di 2024.

Saat ini pemerintah melalui Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian pun sedang melakukan evaluasi terhadap kebijakan tersebut untuk memutuskan dilanjutkan atau dihentikan setelah 2024.

Baca juga: Anggaran Subsidi Energi Meningkat, Pemerintah Didorong Evaluasi Gas Murah Industri

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com