Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggaran Subsidi Energi Meningkat, Pemerintah Didorong Evaluasi Gas "Murah" Industri

Kompas.com - 19/01/2024, 15:40 WIB
Rully R. Ramli,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan anggaran subsidi energi sebesar Rp 186,9 triliun pada tahun ini. Angka itu lebih tinggi dari realisasi sepanjang tahun lalu sebesar Rp 159,6 triliun.

Dengan adanya kenaikan tersebut, Pengamat energi Komaidi Notonegoro menilai, pemerintah perlu mengevaluasi kembali berbagai kebijakan subsidi energi. Salah satu yang harus menjadi perhatian ialah program harga gas bumi tertentu (HGBT) yang sudah berjalan sejak April 2020 sampai tahun ini.

Program yang membuat industri mendapat gas bumi seharga 6 dollar AS per MMBTU itu ditujukan untuk meningkatkan daya saing bagi industri tertentu penerima HGBT. Namun, Komaidi menilai, program tersebut tidak berhasil mendongkrak kinerja penerima HGBT meningkat signifikan.

Baca juga: Percepat Koordinasi, Kantor Bersama Satgas Tim Transisi Energi Nasional Diresmikan

"Jadi kalau hanya satu yang diperhatikan tapi yang lain tidak diperhatikan juga nggak ada dampak" ujar dia, dalam keterangannya, Jumat (19/1/2024).

Sebagai informasi, berdasarkan peraturan menteri energi dan sumber daya mineral (Permen ESDM) Nomor 15 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu Dibidang Industri, terdapat 7 sektor industri yang menikmati subsidi HGBT. Mereka adalah industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Namun, berdasarkan catatan Komaidi, Sejak diberlakukan sampai tahun 2022, program subsidi gas murah itu telah membuat pemerintah kehilangan penerimaan negara hingga sebesar Rp 29,4 triliun. Sementara dalam periode tersebut, penerimaan negara dari sektor industri penerima subsidi hanya sekitar Rp 15 triliun.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak pada tujuh industri penerima harga gas bumi tertentu pada 2020 hingga 2022 memang cenderung meningkat. Namun, Komaidi menyebutkan, peningkatan tersebut bukan hanya dipengaruhi oleh program HGBT, tetapi juga karena volatilitas harga komoditas.

"Sudah terbukti kan dari beberapa evaluasi ini kan belum sesuai ekspektasi atau kalkulasi awal," ucapnya.

Baca juga: Soal Transisi Energi, Anies: Yang Harus Dipikirkan Bukan Hanya Jadi Green Energy, tapi...

Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, penerapan kebijakan harga gas khusus yang tidak berjalan dengan baik berdampak pada industri manufaktur. Ia menyebutkan, industri manufaktur masih menghadapi hantaman bertubi-tubi yang memengaruhi produktivitas dan daya saingnya.

Selain kondisi ekonomi global yang berpengaruh pada permintaan, sektor manufaktur juga mengadapi nilai tukar rupiah yang melemah yang berakibat pada melonjaknya harga bahan baku dan biaya produksi.

"Selanjutnya, eskternalitas lain yang berdampak terhadap industri manufaktur, adalah kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang tidak berjalan dengan baik. Beberapa industri justru membeli harga di atas USD6/MMBTU, sehingga menurunkan daya saing produk mereka,” kata Febri dalam keterangan tertulis, Kamis (2/11/2023).

Baca juga: Menteri Suharso Sebut Subsidi Energi Bisa Direalokasikan untuk Atasi Stunting 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com