BELAKANGAN ini masyarakat dikejutkan tingginya kredit macet di kalangan Milennial. Berdasarkan temuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah pinjaman macet lebih dari 90 hari di industri financial technology peer-to-peer (P2P lending), atau yang dikenal dengan sebutan pinjol untuk kategori perseorangan telah mencapai angka Rp 1,73 triliun per Mei 2023.
Masalahnya, generasi Milenial atau mereka yang berusia 19-34 tahun menjadi "penyumbang" terbesar dari kredit macet tersebut.
Berbagai pakar menyebutkan bahwa generasi Milenial terlilit utang karena fenomena Fear of Missing Out (FOMO) alias ikut-ikutan tren agar merasa tidak "ketinggalan". Sebagian pakar lain beranggapan bahwa literasi keuangan mereka rendah.
Menurut penulis, keduanya benar. Generasi "Zaman Now" harus kita akui memang cenderung terimbas "virus" FOMO sebagai imbas masifnya penggunaan media sosial. Di sisi lain, literasi keuangan masyarakat Indonesia dapat dikatakan rendah.
Mengapa itu bisa terjadi? Karena pendidikan finansial tidak diajarkan di sekolah. Padahal, siapa pun yang bekerja sebagai karyawan maupun yang berbisnis ingin mendapatkan apa yang disebut dengan kesuksesan.
Sayangnya, mereka harus otodidak untuk mengelola keuangan. Entah mengikuti kursus, mendaftarkan diri pada program seminar ataupun mengikuti sertifikasi perencanaan keuangan.
Perencanaan keuangan merupakan salah satu pilar untuk mewujudkan generasi yang mandiri dan berdaya.
Rendahnya literasi keuangan hanya menjadikan generasi kita tidak dapat mewujudkan mimpi-mimpinya. Mulai dari membeli rumah, menyekolahkan anak-anak ke jenjang tertinggi, membeli produk asuransi, berinvestasi, bahkan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Untuk meningkatkan literasi keuangan, keluarga memegang peranan vital. Oleh karena itu, para orangtua perlu mengedukasi keuangan kepada putra-putrinya sesuai dengan tahapan perkembangannya.
Nah, bagaimana cara mengedukasi keuangan yang efektif kepada buah hati kita? Berikut sejumlah strategi yang dapat diterapkan.
Pertama, mendiskusikan topik keuangan secara terbuka. Ketika anak-anak kita sudah cukup besar untuk meminta uang, inilah saatnya berbicara dengan mereka tentang realitas keuangan.
Dengan membahas apa artinya menabung, membelanjakan, menyumbang, dan berinvestasi, kita akan membantu mereka mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang cara kerja uang di dunia nyata.
Kita juga dapat mengajari mereka tentang penganggaran dengan mengatur jumlah uang saku mingguan atau bulanan yang harus mereka pertahankan.
Membahas uang saku mingguan atau bulanan sebagai imbalan untuk pekerjaan rumah tangga adalah cara yang bagus untuk memulai anak kita dengan uang untuk dibelanjakan, dan pengetahuan tentang nilai Rupiah.
Kita perlu memastikan bahwa diskusi tersebut tetap informatif dan positif sehingga mereka dapat mengingat pesan diskusi tersebut di sepanjang hidup mereka.