RAPAT Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) tanggal 23-24 April 2024, memutuskan untuk kembali menaikkan suku bunga acuanya, BI-rate (BI 7-Day Reverse Repo Rate) menjadi 6,25 persen.
Dalam 20 bulan terakhir, BI telah mendongkrak suku bunga acuannya hingga 2,75 persen (dari 3,5 persen menjadi 6,25 persen).
Kenaikan BI-rate tersebut ditujukan untuk merespons potensi efek rambatan dari masih tingginya suku bunga acuan bank sentral Amerika dan ketidakpastian ekonomi global saat ini.
Potensi meluasnya ketegangan di Timur Tengah, Taiwan-Tiongkok, dan keberlanjutan perang Ukraina-Rusia pascadisetujuinya bantuan sekitar Rp 1.500 triliun pada tiga wilayah tersebut oleh Senat Amerika Serikat (AS) minggu lalu, masih menjadi isu penting.
Efek rambatan yang diantisipasi BI terutama pada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (IDR/USD) serta potensi kenaikan inflasi. Kedua aspek tersebut berkontribusi besar pada stabilitas makro ekonomi Indonesia.
Tulisan ini membahas mitigasi efek rambatan ketidakpastian ekonomi global dari sudut pandang kebijakan Makroprudensial, instrumen moneter yang kajiannya sangat terbatas dalam literatur ekonomi di bangku kuliah.
Pandemi Covid-19 mengajakan kita bahwa krisis ekonomi dapat juga bersumber faktor nonkeuangan. Sebut saja tensi geopolitik global yang sangat berpotensi mengguncang stabilitas ekonomi Indonesia sehingga memerlukan mitigasi risiko yang tepat sasaran.
Bank Sentral tidak cukup hanya mengandalkan kebijakan mikroprudensial dan stimulus suku bunga acuan dalam mencegah risiko sistemik, tetapi juga dapat mengembangkan kebijakan Makroprudensial.
Makroprudensial merupakan kebijakan bank sentral dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK) melalui pencegahan risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan.
Kebijakan tersebut ditujukan mendukung stabilitas moneter dan sistem pembayaran, termasuk meminimalkan biaya penanganan krisis akibat risiko sistemik.
Dalam praktiknya, kebijakan makroprudensial mencakup upaya pengaturan dan pengawasan lembaga-lembaga di sektor jasa keuangan (yang bersifat makro), dan berfokus pada pencegahan risiko sistemik guna mendorong SSK Indonesia.
Pengalaman dari Pandemi Covid-19 dan Krisis Asia 1998 mengingatkan kita bahwa biaya penanganan krisis begitu mahal dan membutuhkan waktu pemulihan yang lama.
Upaya preventif terhadap dampak sistemik melalui instrumen makroprudensial menjadi penting. Hal ini untuk memastikan keberlanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan Makroprudensial di Indonesia yang berada dalam kewenangan BI mencakup pengaturan sistem keuangan menyeluruh sehingga tidak terbatas hanya pada perbankan saja.
Institusi keuangan nonbank, infrastruktur keuangan, korporasi, rumah tangga, dan pasar keuangan juga menjadi sektor yang diperhatikan dalam kebijakan tersebut.