Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Pajak Inflasi dalam Kolapsnya Mata Uang Zimbabwe

Kompas.com - 13/05/2024, 08:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETIKA membicarakan krisis moneter, Zimbabwe seakan menjadi epitome dari situasi terburuk yang mungkin terjadi dalam kolapsnya nilai mata uang.

Sebelum menjadi salah satu negara termiskin di dunia, Zimbabwe sebenarnya pernah menikmati kemakmuran ekonomi di masa awal kemerdekaan pada 1980 silam.

Produksi gandum dan tembakau yang melimpah membuat ekonomi Zimbabwe kala itu tumbuh paling kuat di kawasan Afrika.

Namun, mulai 1990, praktik korupsi di pemerintahan yang kian agresif justru membalikkan keadaan. Ditambah keterlibatannya dalam Perang Afrika dan kebijakan anti-warga keturunan Eropa, ekonomi Zimbabwe pun jatuh ke dalam krisis yang berlangsung hingga kini.

Bertahun-tahun hiperinflasi telah membuat sektor keuangan di Zimbabwe kolaps hingga tingkat kemiskinan dan pengangguran pernah menembus angka 70 persen.

Namun, yang paling menuai perhatian internasional adalah ketika dollar Zimbabwe menjadi satu-satunya mata uang di dunia yang memiliki pecahan hingga triliunan dalam satu lembar.

Ketika hiperinflasi memuncak di 2008, harga komoditas di Zimbabwe naik hingga 79.600 kali lipat. Dollar Zimbabwe menjadi tidak bernilai sama sekali hingga bank sentralnya harus menerbitkan uang kertas hingga nominal 100 triliun dollar per lembar.

Namun, Zimbabwe bukan satu-satunya negara yang pernah diterjang hiperinflasi.

Jerman dan Hungaria juga pernah mengalami krisis inflasi setelah mengalami kekalahan dalam Perang Dunia. Di dunia modern, Argentina dan Venezuela juga saat ini tengah menghadapi kemelut hiperinflasi.

Namun, dari seluruh kasus tersebut, ada kesamaan penyebabnya. Pencetakan uang baru secara agresif oleh pemerintah menimbulkan pajak inflasi yang tinggi bagi perekonomian.

Pajak inflasi merupakan istilah ekonomi yang merujuk pada turunnya nilai uang di masyarakat akibat bertambahnya jumlah uang beredar dari adanya uang baru yang dicetak oleh pemerintah.

Pajak inflasi tidak seperti pajak pada umumnya yang langsung dipungut dari penghasilan dan konsumsi masyarakat. Efek pajak inflasi bersifat senyap yang dampaknya dirasakan secara tidak langsung oleh masyarakat lewat naiknya harga-harga barang.

Salah satu prinsip fundamental yang mendasari bidang ekonomi adalah bahwa ketika jumlah suatu komoditas semakin banyak, maka komoditas tersebut akan semakin tidak bernilai. Sebaliknya, komoditas yang jumlahnya sedikit dan langka akan memiliki nilai yang tinggi.

Prinsip tersebut sejatinya juga berlaku atas nilai mata uang. Ketika jumlah uang yang beredar di perekonomian terlalu banyak, nilai uang pun akan berkurang. Akibatnya, harga-harga barang menjadi lebih mahal.

Garis besarnya: peningkatan uang beredar juga meningkatkan laju inflasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Boeing Angkat Mantan Diplomat Australia Jadi Presiden Asia Tenggara

Boeing Angkat Mantan Diplomat Australia Jadi Presiden Asia Tenggara

Whats New
Holding BUMN Danareksa Bagi-Bagi 212 Hewan Kurban ke 16.000 KK

Holding BUMN Danareksa Bagi-Bagi 212 Hewan Kurban ke 16.000 KK

Whats New
Prudential Gandeng Mandiri Investasi, Luncurkan Subdana untuk Nasabah Standard Chartered

Prudential Gandeng Mandiri Investasi, Luncurkan Subdana untuk Nasabah Standard Chartered

Earn Smart
Pertamina Peringkat Ketiga Perusahaan Terbesar di Asia Tenggara Versi Fortune 500

Pertamina Peringkat Ketiga Perusahaan Terbesar di Asia Tenggara Versi Fortune 500

Whats New
Marak PHK di Industri Tekstil, Asosiasi: Ribuan Pekerja Belum Terima Pesangon

Marak PHK di Industri Tekstil, Asosiasi: Ribuan Pekerja Belum Terima Pesangon

Whats New
Daya Saing Indonesia Terbaik ke-27 Dunia, Ungguli Jepang dan Malaysia

Daya Saing Indonesia Terbaik ke-27 Dunia, Ungguli Jepang dan Malaysia

Whats New
10 Raja Terkaya di Dunia, Raja Inggris Tak Masuk Daftar

10 Raja Terkaya di Dunia, Raja Inggris Tak Masuk Daftar

Earn Smart
BPR Perlu Percepatan Digitalisasi untuk Hadapi Tantangan Global

BPR Perlu Percepatan Digitalisasi untuk Hadapi Tantangan Global

Whats New
Apakah Indonesia Mampu Ciptakan “Kemandirian Beras”?

Apakah Indonesia Mampu Ciptakan “Kemandirian Beras”?

Whats New
Puncak Arus Balik Libur Idul Adha 2024, KAI Layani 168.631 Penumpang

Puncak Arus Balik Libur Idul Adha 2024, KAI Layani 168.631 Penumpang

Whats New
PHK Karyawan Tokopedia Dikhawatirkan Berdampak ke UMKM, Mengapa?

PHK Karyawan Tokopedia Dikhawatirkan Berdampak ke UMKM, Mengapa?

Whats New
BRI Dukung UMKM Produk Dekorasi Rumah Tembus Pasar Internasional

BRI Dukung UMKM Produk Dekorasi Rumah Tembus Pasar Internasional

Whats New
OJK Sebut Kredit Macet Perbankan Turun Setelah Pandemi

OJK Sebut Kredit Macet Perbankan Turun Setelah Pandemi

Whats New
Harga Koin Meme Pepe Melonjak 820 Persen Sejak Awal Tahun

Harga Koin Meme Pepe Melonjak 820 Persen Sejak Awal Tahun

Earn Smart
Mengenal Layanan SEO Cryptocurrency Unggulan dari Arfadia untuk Bisnis Blockchain

Mengenal Layanan SEO Cryptocurrency Unggulan dari Arfadia untuk Bisnis Blockchain

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com