Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Udin Suchaini
ASN di Badan Pusat Statistik

Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa

Tapera, Kebijakan Bias Perkotaan

Kompas.com - 31/05/2024, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETIAP orang memiliki hak dasar atas perumahan, menjamin rumah yang terjangkau dan layak huni. Masalah perumahan semakin mengemuka bukan hanya soal pertumbuhan penduduk, termasuk masifnya urbanisasi.

Sayangnya, tak terdokumentasi berapa banyak rumah yang ditinggal pemiliknya, ditinggal merantau, dan hanya berniat menyewa.

Sehingga, implementasi Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) perlu mempertimbangkan bagaimana perilaku seseorang terkait keputusan untuk memiliki rumah, tanpa menambah beban pekerja yang berpotensi menggerus daya beli.

Statistik kepemilikan rumah

Pemenuhan kebutuhan perumahan yang inklusif dibutuhkan di wilayah perkotaan. Dari catatan statistik yang ada, memang ada ketimpangan kepemilikan rumah antara wilayah perkotaan dan perdesaan, namun kondisi ini dampak dari proses urbanisasi.

BPS dalam publikasi Statistik Kesejahteraan Rakyat 2023 mencatat, kepemilikan rumah di perkotaan yang statusnya milik sendiri masih rendah, sebesar 79,36 persen rumah tangga. Sementara, di perdesaan sebesar 92,38 persen.

Pekerja di perkotaan seringkali melakukan kontrak/sewa rumah untuk memudahkan akses ke tempat kerja. Sehingga, rumah tangga di perkotaan yang kontrak/sewa rumah juga tinggi sebesar 8,03 persen, sementara di perdesaan hanya 0,89 persen.

Sementara yang bebas sewa juga lebih tinggi di perkotaan dibanding perdesaan. Rumah tangga yang menempati rumah bebas sewa di perkotaan sebesar 11,79 persen dan di perdesaan sebesar 5,99 persen.

Status kepemilikan tempat tinggal bebas sewa ini menunjukkan bahwa mereka tinggal di rumah keluarga, bukan keluarga, atau rumah orangtua, namun tanpa mengeluarkan suatu pembayaran apapun.

Bahkan, dari rumah tangga yang tidak tinggal di rumah sendiri, ada yang telah memiliki rumah di tempat lain.

Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023 pun menunjukkan setidaknya ada 1,65 persen dari total rumah tangga memiliki rumah di tempat lain, meskipun di domisilinya bukan milik sendiri.

Sehingga, bagi sebagian pihak memiliki rumah sendiri di tempat domisili bukanlah yang utama. Bisa jadi, seorang pekerja hanya memilih untuk menyewa, karena telah memiliki rumah di tempat lainnya.

Perilaku rumah tangga

Keputusan seseorang untuk memiliki rumah pribadi biasanya didasarkan pada kebutuhan dan preferensi, jika faktor harga tidak menjadi pertimbangan.

Sehingga, determinan pemilihan rumah menjadi sangat banyak, seperti tingkat pendidikan, usia, status perkawinan, jumlah anggota keluarga, budaya, nilai-nilai, peraturan pemerintah, faktor pasokan, kemampuan finansial, gaya hidup, hingga kelas sosial.

Namun, bagi pekerja yang memiliki pendapatan terbatas tentu pertimbangannya bakal berbeda. Apalagi bagi pekerja yang statusnya merantau dan memiliki rumah di kampung halamannya.

Secara umum, memang rata-rata harga rumah di Indonesia tergolong mahal jika dibanding negara sekitar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com