ADA beberapa poin penting dalam tulisan Cucun Ahmad Syamsurijal “Menimbang Beban Kebijakan Moneter” (Kompas.com, 31/05/2024).
Pertama, Cucun melihat bahwa perekonomian global sampai saat ini belum membaik. Ketidakpastian yang diakibatkan konflik geo politik akibat perang Israel-Hamas, Israel-Iran, dan Rusia-Ukraina masih terjadi.
Hal tersebut mengakibatkan inflasi tinggi karena kenaikan harga energi dan bahan pangan di beberapa negara, terutama di Amerika Serikat, yang direspons dengan kenaikan bunga acuan khususnya "Fed Rate".
Kedua, untuk merespons gejolak geo politik yang menyebabkan inflasi tinggi dan suku bunga tinggi, kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) yang diambil adalah suku bunga acuan yang tinggi juga.
Hal ini karena kebijakan moneter BI selama ini memang prokepada stabilitas (pro stability) dan bukannya propertumbuhan (pro growth).
Ketiga, akibat suku bunga acuan tinggi tersebut yang diikuti kenaikan bunga kredit, maka banyak perusahaan yang kesulitan untuk mengembangkan usahanya. Akibatnya daya cipta kesempatan kerjanya juga menurun.
Keempat, menurut Cucun, sudah saatnya kebijakan moneter diubah orientasinya dari prostabilitas ke propertumbuhan ekonomi.
Kebijakan moneter yang prostabilitas bukanlah harga mati. Dengan kebijakan moneter yang berubah arah ke propertumbuhan, maka tingkat inflasi bisa sedikit ditoleransikan sehingga petumbuhan ekonomi bisa tinggi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa menyerap tenaga kerja yang lebih banyak dan dampak positif lain.
Ada beberapa tanggapan yang ingin saya sampaikan lewat tulisan ini. Pertama, terhadap kondisi ekonomi global yang masih tidak pasti dan belum membaik, saya setuju sepenuhnya karena memang demikian adanya.
Begitu pula respons beberapa negara untuk menaikkan atau mempertahankan suku bunga kebijakannya pada tingkat atau level yang tinggi, khususnya AS dengan Fed Rate-nya.
Kedua, respons BI memang selalu mengikuti arah suku bunga negara-negara lain sehingga BI menaikkan "BI Rate" sebagai suku bunga acuan dan sering mempertahankan suku bunga tinggi ini.
Kebijakan suku bunga BI yang demikian di samping prostabilitas sebenarnya juga kebijakan yang sifatnya antisipatif (pre emptive) dan melihat ke depan (forward looking).
Artinya, kebijakan bunga BI tidak hanya merespons peristiwa sesaat, tetapi juga mengantisipasi dan melihat ke depan.
Mungkin untuk sesaat BI bisa saja melakukan kebijakan suku bunga yang lain, tetapi hal itu tidak tepat.