Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bangsa Tanpa Pengetahuan Sejarah Akan Jadi Bangsa "Tweede Hands"

Tulisan ini, kalau meminjam istilah atau terminologi anak anak jaman now, disebut sebagai tulisan yang “keren banget”.

Dalam tulisan itu, antara lain Peter Carey berkisah tentang sebuah catatan sejarah, bahwa betapa Sutan Sjahrir, berhasil menceritakan tentang sejarah Indonesia sebagai bangsa di forum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 14 Agustus 1947.

Pidato yang membuat sejarah bangsa Indonesia menjadi sebuah bangsa yang dapat mempertahankan kemerdekaannya di forum internasional.

Pidato bersejarah dari Sutan Sjahrir juga bisa dilihat sebagai inisiatif diplomatik yang paling menentukan pada zaman Revolusi Indonesia (1945-1949).

Tweede hands

Intinya tulisan Peter Carey menuangkan tentang betapa pentingnya posisi pelajaran sejarah dalam Kurikulum Nasional, dengan penekanan: “Apabila orang Indonesia tidak tahu-menahu sejarah sendiri, mereka akan menjadi bangsa “tweede hands”- sebagai bangsa “tangan kedua”. (Tirto.id – 22 September 2020)

Dalam bahasa Belanda tweede hands sering di gunakan untuk padanan kata “barang bekas” atau “bekas pakai”.

Polemik tentang mata pelajaran sejarah yang katanya akan lenyap dari kurikulum sekolah sudah selesai dengan dijawabnya topik panas itu langsung oleh Menteri Pendidikan.

Saya tidak akan membahas tentang pelajaran sejarah di sekolah akan tetapi ingin menyoroti sedikit tentang metoda belajar di sekolah yang saya alami. Sejauh ini pendidikan kita menganut metoda yang satu arah, dan guru berperan sangat dominan dalam pelajaran di kelas.

Anak murid lebih banyak mendengar saja apa yang diuraikan oleh sang guru, jarang sekali, hampir tidak ada sesi tanya jawab atau pola interaktif.

Di sisi lain penekanan yang sangat di tuntut adalah menghafal dibandingkan tuntutan untuk mengerti apalagi beropini.

Murid menjadi pasif dan melenyapkan inisiatif untuk mau mengerti. Sekali lagi, yang dinilai adalah jerih payah menghapal saja. Kemungkinan besar inilah yang kemudian menghasilkan banyak murid yang menjadi malas dan sangat gemar menyontek ketika ujian.

Produk logis dan masuk akal dari seseorang yang tidak memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam belajar, dan penilaian yang terfokus hanya pada hasil menghapal.

Kisah Anak yang Baru Pulang dari Amerika

Di tahun 1990-an, sahabat saya pulang dari Amerika Serikat, anaknya usia murid SD kelas 5 mulai sekolah di Jakarta. Sudah terlihat dalam 2 minggu pertama sang anak tampak lesu kurang bergairah dan semangat saat harus berangkat ke sekolah, tidak seperti biasanya saat sekolah di Amerika.

Dapat dimaklumi karena anak-anak memang butuh waktu untuk meyesuaikan diri. Beberapa hari setelah memasuki minggu ke-3, sore hari ia melapor kepada bapak dan ibunya bahwa tadi pagi ia dimarahi oleh guru.

Ia bercerita, bahwa ditengah pelajaran berlangsung, saat sang guru mengajar, ia angkat tangan untuk bertanya.

Ia bertanya, kapan ia dapat memperoleh kesempatan untuk berbicara, karena selama ini ia hanya mendengarkan saja apa yang dikatakan oleh guru.

Berikutnya , ia pun ditegur oleh guru ketika tidak tahu nama Bapak Presiden Republik Indonesia. Ia menjawab, bahwa ia tidak tahu nama Bapak Presiden RI, ia hanya tahu nama Presiden RI, sedangkan bapaknya ia memang tidak tahu.

Ia tidak habis mengerti kenapa yang ditanya nama bapak Presiden bukan nama Presidennya.

Sontak, bapak ibunya tertawa dan menyadari bahwa mereka tidak atau belum memberikan informasi yang cukup kepada anaknya tentang perbedaan metode belajar di sekolah Amerika dan Indonesia dan juga tentang struktur bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

Kedua orang tuanya pun pada akhirnya kesulitan untuk menjelaskan kepada anaknya tentang perbedaan bersekolah di Amerika dan di Indonesia.

Bagaimana menjelaskan kepada anaknya tentang mengapa ia harus menghapal tentang kapan Perang Diponegoro berlangsung misalnya, dan bukan tentang makna atau pendapatnya atau pelajaran apa yang dapat diperoleh tentang perang Diponegoro.

Kembali kepada pelajaran sejarah , realitanya saya sendiri dalam pelajaran sejarah Pangeran Diponegoro, yang saya ketahui hanyalah tentang Perang Diponegoro yang berlangsung pada tahun 1825 sampai dengan 1830. Karena itulah yang diajarkan dan di ujikan di sekolah dulu.

Metode Belajar

Pelajaran sejarah memang penting, namun metode belajar mengajar pun harus memperoleh perhatian yang serius. Sekali lagi, metode belajar yang satu arah dan penilaian yang cenderung hanya kepada “menghafal”, akan lebih banyak mengantar anak-anak menjadi malas dan berkreasi untuk nyontek pada saat ujian.

Beberapa waktu lalu pernah berkembang kampanye metoda belajar yang CBSA, Cara Belajar Siswa Aktif akan tetapi sampai sekarang statusnya sudah “nyaris tidak terdengar” dan implementasinya pun tidak pernah terdengar lagi.

Kesemua ini sudah sangat diketahui oleh masyarakat luas, bukan sesuatu hal yang baru, demikian pula tentang “hilang” nya mata pelajaran budi pekerti. Akan tetapi anehnya, perubahan tidak kunjung datang menjelang.

Saya menulis tentang hal ini, didorong oleh sebuah kekhawatiran yang mendalam atas pernyataan Peter Carey: “Apabila orang Indonesia tidak tahu-menahu sejarah sendiri, mereka akan menjadi bangsa tweede hand.

Pasti respon dari sebagian besar dari kita semua, meminjam istilah yang sering digunakan oleh emak-emak akan bilang “amit-amit jabang bayi”, sambil ketok bawah meja 3 X.

https://money.kompas.com/read/2020/09/26/155638526/bangsa-tanpa-pengetahuan-sejarah-akan-jadi-bangsa-tweede-hands

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke