Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bisnis Resto Terempas, Virtual Dining Concept Sebuah Solusi?

BISNIS restoran terhempas sepanjang pandemi yang telah berlangsung lebih dari setahun. Tidak memandang ukuran. Yang besar banyak yang kolaps, bahkan tutup selamanya, apalagi yang kecil dan mikro.

Jaringan restoran besar seperti McDonalds mengalami kerugian hingga 240 miliar dollar AS hanya di pasar Amerika Serikat saja. Di Singapura seluruh gerai tutup di awal masa pandemi. "Derita" makin lengkap ketika disinyalir sejumlah pegawai turut terinfeksi virus Covid-19.

Di Indonesia, jaringan restoran waralaba KFC hingga kini masih menutup 33 gerai, sedikit membaik ketimbang 135 gerai di awal pandemi. Penjualan pun menyusut 27 persen dibandingkan tahun lalu.

Tak terbilang lagi empasan pandemi untuk usaha menengah dan kecil. Warung Tegal yang identik dengan rumah makan rakyat yang menawarkan menu murah dan meriah terdampak hebat. Seperti penuturan Ketua Kowantara (Koordinator Warung Tegal Nusantara) Mukroni kepada Kompas.com (28/1/2021), 63 persen warteg di Jakarta tutup.

Jumlah pengunjung warteg yang merosot, karena banyak yang kena PHK diikuti dengan penjualan yang menyusut tajam tidak mampu mengimbangi biaya yang membengkak, seperti sewa tempat. Tutup gerai menjadi pilihan terbaik di masa sulit.

Di tengah berita sedih semaputnya bisnis restoran, tiba-tiba saja di negeri Paman Sam, terkuak sebuah berita hadirnya MrBeast's Burgers yang mengklaim telah membuka 300 gerai dalam semalam. McDonalds butuh enam tahun untuk jumlah gerai yang sama. Ada apa sebenarnya?

Virtual dining concept

Adalah Robert Earl, mantan CEO Hard Rock Cafe dan CEO Planet Hollywood International, yang menginisiasi sebuah konsep bernama Virtual Dining Concept (VDC) di balik kesuksesan (jika mau dibilang demikian) MrBeast's Burgers.

VDC memanfaatkan dapur yang menganggur karena resto tutup selama pandemi untuk memproduksi dan memaketkan MrBeast,s Burgers serta menggunakan beragam aplikasi pengiriman yang tersedia di sana seperti UberEats, DoorDash dan PostMates untuk menyampaikannya ke pelanggan.

Konsep ini menemukan cara untuk memanfaatkan secara produktif kapasitas dapur yang tersedia di seluruh Amerika, menyediakan dapur virtual dengan kandungan bahan dan branding yang terstandarisasi. Sebuah home app memusatkan berbagai pemesanan dari beragam aplikasi pengiriman.

Sebagai imbalan atas pengolahan dan pengemasan makanan, restoran memperoleh pembagian profit sebesar 30 persen.

Pengusaha restoran yang mungkin tutup dapat menggunakan sumber daya yang dimiliki secara lebih efisien dan dapat meningkatkan keuntungan tanpa harus berinvestasi lagi. Mereka tetap menggunakan peralatan lama, pegawai lama dan tentu saja tempat yang sama.

Untuk membangun brand, VDC memanfaatkan para selebriti. Mereka bertugas mempromosikan dan memasarkan produk. Setidaknya mereka memiliki kelompok fans yang besar dan mengakar, sebagai pasar sasaran yang menggiurkan.

Bintang You Tube Amerika Serikat Jimmy Donaldson atau lebih dikenal sebagai Mr Beast mempromosikan MrBeast’s Burgers. Atau Mariah Carey dengan Mariah Carey’s Cookies yang mungkin lebih dikenal oleh publik Indonesia, juga menggunakan konsep VDC.

VDC memanfaatkan trend pemesanan dan pengiriman makanan dengan aplikasi. Tentu saja karena keterbatasan jangkauan, restoran yang terdaftar di dalam aplikasi calon pelanggan, berada di dalam jangkauan tertentu, misalnya dalam radius 8 km. Ini untuk menjamin bahwa pelanggan akan menerima pengiriman tepat waktu.

VDC di Indonesia

Inisiator VDC meyakini bahwa konsep yang ditawarkan adalah masa depan restoran. Lucy Luo & Matthieu Manzoni melalui blognya di Strategyzer, sebuah lembaga konsultan yang fokus pada pertumbuhan usaha dengan inovasi, dan juga dikenal dengan buku terbitannya yang laris manis di seluruh dunia: Business Model Canvas, menyayangkan jaringan resto besar seperti McDonalds dan Burger King yang tidak mau mengubah konsep bisnis, ketika lanskap bisnis restoran telah berubah karena pandemi.

Menurut mereka, jaringan resto besar dengan model bisnis yang dianggap telah berhasil dan mapan, seolah telah mengembangkan antibodi sehingga resisten untuk berubah. Mereka enggan mengubah konsep dan model bisnis yang telah mereka yakini sebagai kunci sukses puluhan tahun lamanya.

Terlepas dari pandangan yang masih dapat diperdebatkan, bagaimana jika konsep ini diterapkan di Indonesia? Sejatinya secara teknologi Indonesia tidak dapat dipandang remeh lagi.

Masyarakat juga mulai terbiasa dengan pemesanan makanan dan minuman melalui aplikasi. Namun yang harus dipertimbangkan adalah kebiasaan kumpul-kumpul yang belum akan berubah sebagai budaya masyarakat Indonesia.

Pada kondisi sekarang pun, ketika penyebaran virus Covid-19 masih terjadi dan belum dipastikan kapan terkendali, sekelompok masyarakat masih "mencuri-curi" kesempatan untuk tetap kumpul-kumpul di restoran. Interaksi sosial secara langsung tetap dirindukan.

Bahkan sejumlah resto baru hadir dengan tawaran konsep yang sama, yaitu tempat berkumpul dengan desain yang bernuansa alam, areal yang luas, dan sirkulasi udara menyegarkan, menjadi favorit pecinta resto masa kini.

Virtual dining concept tampaknya belum akan menjadi masa depan restoran di Indonesia.

Masa sebelum pandemi tetap akan menjadi masa depan, setidaknya selama restoran dipandang tidak cuma sebagai tempat untuk mengenyangkan perut, tetapi wadah untuk berinteraksi sebagai makhluk sosial.

Franky Selamat
Dosen Tetap Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tarumanagara

https://money.kompas.com/read/2021/03/08/203000826/bisnis-resto-terempas-virtual-dining-concept-sebuah-solusi-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke