Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengatasi Ekonomi Biaya Tinggi dengan SNI

ACAP KALI kita dengar istilah ekonomi biaya tinggi atau high cost economy yang mengganggu efisiensi produksi suatu perusahaan.

Bila ditarik secara agregat, munculnya ekonomi biaya tinggi berdampak pula pada tingkat daya saing produk dan perekonomian secara nasional.

Dalam teori dan konsep ekonomi, perilaku produsen/perusahan, yaitu untuk memaksimalkan keuntungan/laba di mana total revenue setelah dikurangi total cost menunjukkan angka yang positif.

Dalam berproduksi suatu produsen akan tetap menjalankan operasi produksinya apabila harga produk lebih besar dari biaya rata-rata.

Permasalahannya adalah jika harga produk yang dijual tidak bisa bersaing dengan harga produk pesaing, maka perusahaan lama kelamaan akan kalah dalam persaingan pasar.

Faktor harga dan mutu merupakan hal penting dalam mengukur daya saing suatu produk nasional apabila dibandingkan dengan produk impor.

Sebagai contoh, apel Washington dibanding dengan apel Malang, jeruk Mandarin yang mengambil pasar jeruk lokal, hingga mainan anak dari China yang mendominasi pasar.

Bila dibandingkan, bukankah produk-produk impor itu memiliki mutu yang lebih bagus dengan harga yang lebih murah daripada produk lokal?

Sebagai konsumen tidak dapat pula disalahkan apabila faktor harga dan mutu menjadi preferensi dalam membeli meskipun cinta produk dalam negeri adalah pilihan yang paling bijak.

Oleh karena itu, sebagai upaya untuk bersaing atau setidaknya mampu bertahan dalam persaingan pasar tak bisa lepas dari dua aspek, yaitu penentuan harga dan aspek mutu itu sendiri.

Ada beberapa penyebab suatu produsen menetapkan harga produk yang lebih tinggi yang berujung pada high cost economy.

Di antaranya, faktor upah tenaga kerja yang mahal, infrastruktur yang kurang mendukung aktivitas ekonomi, banyak biaya-biaya tak terduga yang membebani seperti sulitnya izin jika tanpa uang pelicin, marak terjadi pungutan liar, hingga uang-uang siluman yang harus disiapkan selama proses distribusi karena melewati banyak pos pungutan ilegal.

Ironisnya jika beban biaya tersebut disebabkan oleh oknum yang seharusnya memperlancar bukan mempersulit alias birokrasi yang rumit.

Masalah birokrasi tak lepas dari pengamatan Presiden Joko Widodo. Bahkan presiden dengan tegas memerintahkan para pembantunya untuk mengatasi agar ekonomi dapat berjalan dengan baik.

Langkah yang diambil seperti membuat online single submission, menyiapkan mal pelayanan public (MPP) di pemerintah daerah patut diapresiasi karena ini yang diharapkan masyarakat.

Layanan satu atap

Hingga saat ini baru beroperasi sebanyak 44 MPP di beberapa daerah. Dan akan masih terus bertambah seiring dengan komitmen dan keseriusan pemerintah daerah dalam membenahi pelayanan publik pada masyarakat.

Idealnya jika seluruh pemda mendirikan MPP, maka jumlahnya akan lebih dari 500-an unit.

Upaya ini perlu dipercepat sebab layanan publik yang bersih, transparan, tepat waktu itulah yang diidamkan masyarakat sejak dulu.

Mengapa demikian? Sebab MPP menyediakan berbagai jenis layanan publik yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari semisal pengurusan kependudukan, izin usaha, samsat, pembuatan paspor, dan lain-lain.

Dengan adanya layanan satu atap pula yang diharapkan investasi meningkat. Pemerintah menargetkan perbaikan peringkat dalam ease of doing business berkisar pada urutan 50-60.

Salah satu upaya yang dilakukan, yaitu dengan memangkas prosedur dalam memulai usaha bagi pengusaha yang semula dibutuhkan 11 prosedur dengan waktu 10 hari menjadi hanya 3 prosedur dan 2 hari.

Kebijakan yang pro investasi akan mampu mengurangi munculnya ekonomi biaya tinggi.

Di samping itu, untuk mencegah terjadinya bentuk-bentuk korupsi perlu dibenahi pula internalisasi dalam sistem organisasi dalam lembaga yang dipatuhi bersama

Standar 37001

Setidaknya untuk mengontrol, meminimalkan terjadinya high cost economy diperlukan sebuah sistem manajemen antipenyuapan yang perlu diterapkan baik oleh instansi layanan publik maupun dari pihak perusahaan.

Maka dengan adanya standar SNI ISO 37001 yang telah ada sejak tahun 2017, segala bentuk penyuapan, pungutan liar, perizinan usaha yang dipersulit dapat diendus sedari awal.

Dari beberapa jumlah perkara yang sudah ditindak oleh KPK sebanyak 65 persen terkait dengan penyuapan.

Sementara masalah pungutan sebanyak 3 persen dan masalah perizinan ada 2 persen.

Korupsi dengan berbagai bentuk dan jenisnya yang jelas-jelas menghambat investasi. Padahal investasi sangat diperlukan bagi peningkatan perekonomian nasional.

Investasi akan berdampak pada pembentukan modal/kapital, dengan adanya perusahaan baru tentu akan menyerap tenaga kerja juga akan terjadi transfer teknologi yang pada akhirnya akan menaikkan pendapatan nasional/PDB.

Penerapan SNI ISO 37001 baik bagi instansi pemerintah maupun swasta dipandang perlu agar bentuk-bentuk korupsi dapat dicegah.

Sebab implementasi dari standar ini harus dilandasi dari pimpinan organisasi. Bila atasan memberikan contoh yang baik kepada bawahan, maka sistem akan berjalan sebagaimana mestinya.

Munculnya ekonomi biaya tinggi di negara kita tak luput dari penyakit korupsi. Standar pada dasarnya dalah suatu norma atau aturan yang disepakati bersama.

Bila semua pihak menyadari pentingnya standar dalam mencegah praktik korupsi, niscaya perekonomian nasional akan membaik. Semoga terwujud.

*Reza Lukiawan, Periset di Pusat Riset Teknologi Pengujian dan Standar BRIN

https://money.kompas.com/read/2022/03/22/150702426/mengatasi-ekonomi-biaya-tinggi-dengan-sni

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke