Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Meluruskan Magang ke Jalan yang Benar

JAUH sebelum program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) diluncurkan Kemendikbudristek pada akhir Januari 2020, program magang telah ada di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dengan berbagai versi di dalam kurikulum yang ditawarkan.

Ada yang menjadi kewajiban, ada pula yang menjadi opsi bagi mahasiswa.

Program MBKM makin mengukuhkan magang sebagai program primadona untuk menyiapkan lulusan yang tangguh dan siap bekerja di dunia industri.

Penghargaan terhadap program magang tidak main-main. Melalui program MBKM, Kemendikbudristek memberikan wewenang kepada perguruan tinggi untuk memberikan pengakuan sebanyak 20 SKS untuk mahasiswa yang melakukan magang selama satu semester atau enam bulan.

Bobot tinggi yang diberikan memperlihatkan program ini serius dan tidak main-main.

Sejumlah perusahaan menyambut baik program magang mahasiswa dengan menerima kemitraan dari perguruan tinggi.

Mahasiswa diterima magang di perusahaan melalui program yang terukur, sistematis, dan bernilai tambah bagi perguruan tinggi, perusahaan dan terlebih, mahasiswa.

Karena jumlah perusahaan yang terlibat dalam program kemitraan ini terbatas, sementara jumlah mahasiswa yang berpartisipasi membludak sehingga tidak sedikit mahasiswa yang mencari sendiri perusahaan tempat magang dengan mengikuti ketentuan yang berlaku.

Sejumlah kendala dan tantangan hadir tatkala mahasiswa menjalankan program magang ini.

Keluhan magang

Jika menyebut sedikit dari sekian banyak temuan di lapangan, ada lima hal yang kerap kali menjadi keluhan utama sejumlah mahasiswa.

Pertama, deskripsi tugas yang tidak sesuai dengan bidang yang ditekuni. Sudah banyak tersiar kabar peserta magang diberikan tugas yang tidak layak dengan kompetensi yang dimiliki.

Ada yang merasa diperlakukan seperti “asisten rumah tangga” yang tugasnya membuatkan kopi untuk karyawan tetap, menggandakan dokumen (foto copy), scan dokumen, dan merapikan file di komputer.

Seorang mahasiswa menceritakan pengalamannya ketika harus membersihkan gudang dan membuang sampah ketika magang di sebuah gerai minimarket terkemuka.

Belum lagi tugas membersihkan barang dagangan (merchandise) dengan menggunakan lap kanebo di display yang menjadi keseharian.

Padahal di kampus dia masuk dalam deretan mahasiswa berprestasi.

Ketika dikonfirmasi perusahaan tempat magang menjelaskan bahwa mahasiswa juga mesti menjalankan tugas remeh-temeh karena bagian dari pekerjaan yang harus ditekuni.

Jika berada di toko, harus menangani seluruh aktivitas operasional, tidak cuma yang bersifat manajerial saja. Termasuk aksi bersih-bersih tentunya.

Selain tugas yang tidak sesuai, tidak sedikit yang mengeluh “gabut”. Sebuah istilah untuk menyingkat “gaji buta” karena tidak beri tugas atau lebih banyak menganggur daripada bekerja.

Bisa jadi perusahaan tempat magang tidak siap mengatur tugas yang mesti diberikan. Yang ada hanya menerima mahasiswa magang tanpa menyiapkan tugas yang harus dikerjakan.

Kedua, jam kerja tidak menentu. Jika ada mahasiswa magang dengan aktivitas yang minim, di lain sisi ada yang justru merasa dieksploitasi, diperlakukan seperti karyawan tetap.

Jika karyawan tetap lembur, maka mahasiswa magang ikut lembur juga. Bahkan ada yang menerapkan jam kerja tidak menentu, tergantung ketersediaan tugas.

Jika ada yang bertanya, jam kerja sampai pukul berapa, jawabnya adalah jam pulang tidak ditentukan.

Merujuk ke Permenaker no 6 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Permagangan di Dalam Negeri, jam magang mengikuti jam kerja di kantor, yang tentunya bukan tidak ditentukan.

Selain itu juga tidak diperkenankan magang pada hari libur resmi yang ditetapkan pemerintah. Kenyataannya, masih ada juga perusahaan yang memberikan “tugas” pada hari libur.

Ketiga, uang transportasi tidak dibayar. Mahasiswa magang yang “gabut” mungkin tidak terlalu mengeluh jika tidak diberi uang transportasi.

Lain dengan yang merasa tenaganya dieksploitasi. Meski keduanya sama-sama praktik yang tidak benar.

Peserta magang semestinya diberikan uang transportasi, uang makan dan insentif, demikian jika mengacu ke pasal 13 ayat 2 Permenaker no 6 tahun 2020.

Perusahaan berkilah bahwa mahasiswa tidak berorientasi uang, tetapi mencari pengalaman kerja.

Namun rasanya tidak manusiawi juga jika harus menanggung beban kerja tanpa memperoleh insentif, sementara peserta magang memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi perusahaan.

Keempat, ketiadaan mentor. Tidak jarang peserta magang dibiarkan “jalan sendiri” tanpa ada kejelasan siapa yang membimbing di perusahaan.

Atau disediakan mentor tetapi tidak berfungsi optimal. Magang menjadi bersifat normatif tanpa diikuti proses permagangan yang benar.

Kelima, tidak ada perjanjian tertulis. Ini yang paling memprihatinkan jika ada peserta magang yang bekerja tanpa ada perjanjian tertulis.

Hak dan kewajiban yang dijalankan tidak jelas. Yang paling dirugikan adalah peserta magang karena hak-haknya tidak diperhatikan.

Harapan perbaikan

Ini baru lima dari sekian banyak keluhan yang muncul dari mahasiswa peserta magang.

Beberapa di antaranya menyatakan kapok, bahkan ada yang trauma dengan bidang pekerjaan yang akan ditekuni setelah lulus, begitu tahu yang harus dihadapi di dunia kerja.

Tanpa harus berpikiran negatif dengan mitra perusahaan, tampaknya memang banyak yang harus dibenahi dalam program magang ini.

Disadari bersama, benefit yang diberikan melebihi masalah yang dikeluhkan mahasiswa peserta magang.

Makna proses permagangan tampaknya harus lebih dipahami pihak perusahaan dan lembaga pendidikan tinggi.

Jangan mengarah pada formalitas apalagi menjadi ajang eksploitasi tenaga muda mahasiswa. Satu demi satu masalah harus diberikan solusi jitu.

Barangkali saat ini adalah momen yang tepat untuk meluruskan magang ke jalan yang benar.

*Frangky Selamat, Dosen Tetap Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Tarumanagara, Jakarta.

https://money.kompas.com/read/2022/04/19/080000926/meluruskan-magang-ke-jalan-yang-benar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke