Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Beberapa Upaya Ini Bisa Dorong Penerapan EBT untuk Mencapai Net Zero Emission

Pemerintah dinilai harus mengubah kebijakan dalam industri kelistrikan agar pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) bisa tercapai.

Menurut Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, peran pemerintah sangat penting untuk kepentingan jangka pendek dan menengah sebagai upaya memenuhi kebutuhan listrik saat ini dengan harga terjangkau dan tidak membebani Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN), bisa selaras dengan visi jangka panjang pengembangan energi bersih.

“Hal ini tentang tarik-menarik antara soal penyediaan listrik yang harganya terjangkau oleh masyarakat dan besaran subsidi dalam APBN dengan visi negara untuk menyediakan energi bersih berbasis EBT dan sekaligus mengurangi sebanyak-sebanyaknya pembangkit listrik berbasis fosil,” kata Komaidi melalui siaran pers, Selasa (24/5/2022).

Seperti diketahui, sesuai Kesepakatan Paris, Indonesia sudah mencanangkan Karbon Netral (Net Zero Emission) pada 2060 atau lebih cepat.

Sebagai target antara, Indonesia akan mengejar bauran energi (energy mixed) di sektor kelistrikan sebesar 23 persen pada 2025, dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri atau 41 persen jika ada bantuan internasional.

Sampai saat ini, Indonesia masih bertumpu pada pembangkit berbasis fosil, terutama PLTU yang berbahan bakar batu bara, untuk menjadi pembangkit beban puncak (base-load). Pembangkit jenis ini diperlukan untuk menjamin tersedianya pasokan listrik dalam jumlah besar dan kontinyu.

Dari berbagai jenis pembangkit EBT, pembangkit panas bumi menjadi salah satu yang bisa menggantikan peran PLTU sebagai pembangkit base-load. Komaidi menilai, harga jual listrik panas bumi masih mahal dan masa pembangunannya lama, yakni 7-10 tahun. Harga jual listrik panas bumi saat ini masih sekitar Rp 1.191 per kWh, sementara harga jual listrik batu bara hanya Rp 653,3 per kWh.

“Kondisi ini membuat kepentingan jangka pendek yang lebih mengemuka. Pemerintah tidak mudah menaikkan tarif listrik tapi juga tidak bisa membiarkan subsidi listrik di APBN membengkak,” ujar Komadi.

Menurut Komaidi, kepentingan jangka pendek membuat pembangunan EBT tersendat-sendat, terutama pembangkit panas bumi. Hal ini terjadi karena PT PLN memegang monopsoni (pembeli tunggal).

“PLN tentu saja akan memilih PLTU karena harganya yang murah, sehingga BPP (biaya pokok penyediaan listrik) bisa lebih rendah. Kalau dengan panas bumi, siapa yang akan menutup selisihnya agar BPP PLN tetap affordable?” katanya.

Komaidi menjelaskan, dengan posisi seperti itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang memihak pada pengembangan EBT. Apalagi, saat ini terjadi kelebihan pasokan listrik akibat penurunan ekonomi selama pandemi Covid-19.

“Ini soal visi jangka panjang. Pembangunan EBT seperti panas bumi bisa melintasi 1-3 periode pemerintahan. Karena itu, pemerintah harus konsisten dengan semua perencanaan dan target, meskipun pemerintahannya berganti-ganti. Tanpa konsistensi sulit menjaga target itu tercapai,” jelas dia.


Government drilling

Salah satu langkah tepat menurut Komaidi adalah kebijakan pengeboran eksplorasi oleh pemerintah (government drilling) karena akan mengurangi risiko pengembang yang sangat tinggi di masa-masa awal pembangunan pembangkit panas bumi.

Pengembang mesti mengeluarkan biaya operasional sampai 7-10 tahun, sementara pendapatan baru muncul paling cepat pada tahun ke-8.

“Pengembang harus punya pendanaan sendiri yang kuat karena tak mudah mencari financing dari perbankan. Dengan government drilling, risiko pengembang di awal masa pembangunan diambilalih pemerintah,” lanjutnya.

Selain itu, ada kebijakan lain yang perlu dilakukan pemerintah menyangkut pasar. Dia bilang, pemerintah harus mengubah pasar yang bersifat monopsoni menjadi pasar terbuka, sehingga pengembang bisa menjual listrik kepada siapa saja. Konsumen juga bisa membeli listrik kepada pengembang mana saja.

“Untuk itu, jaringan transmisi dan distribusi juga harus diubah menjadi open access seperti pada gas dan sistem kelistrikan di banyak negara. Pengembang tinggal membayar sewa kepada pemilik jaringan transmisi dan distribusi,” ujar Komaidi.

Dengan model seperti itu, maka harga yang terbentuk bisa lebih kompetitif. Dia mencontohkan Unilever, yang mana sejak 1 Januari 2020, sudah membangun fasilitas pembangkit listrik tenaga surya di seluruh pabrik, kantor, fasilitas riset dan pengembangan, pusat data, gudang, dan pusat distribusi di 23 negara.

“Hal ini sulit dilakukan di Indonesia karena sistem yang ada mengharuskan Unilever menjual listrik ke PLN dan kemudian membelinya kembali dari PLN. Selama kita punya kebijakan energi bersih yang acceptable di pasar dan konsisten dilaksanakan, kita tidak perlu khawatir soal pendanaan,” kata Komaidi.

https://money.kompas.com/read/2022/05/24/152000226/beberapa-upaya-ini-bisa-dorong-penerapan-ebt-untuk-mencapai-net-zero-emission

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke