Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengusaha "Pusing" Wacana Cuti Melahirkan 6 Bulan, Status Pekerja Bakal "Disiasati" Jadi Kontrak

Ketua Umum DPD HIPPI DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, pemerintah perlu memperhatikan kondisi pengusaha yang akan menjalankan kebijakan cuti melahirkan 6 bulan ini.

Sebab, menurut dia, psikologis pengusaha harus dijaga agar mereka memiliki kesiapan dan kemampuan jika RUU cuti melahirkan 6 bulan ini disahkan.

"Pelaku usaha berharap agar pemerintah dan DPR melakukan kajian dan evaluasi yang mendalam dan komprehensif sebelum menetapkan UU tersebut karena menyangkut produktivitas tenaga kerja dan tingkat kemampuan dari masing masing pengusaha," ujar Sarman dalam keterangan tertulis, Kamis (23/6/2022).

Selain itu dia juga meminta agar sinkronisasi UU Nomor 13 Tahun 2003 dan Rancangan UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) dilakukan dengan cermat agar tidak menimbulkan dualisme kebijakan yang membingungkan pengusaha.

Pengusaha minta diajak dalam pembahasan RUU cuti melahirkan  bulan

Pemerintah juga diminta untuk mengajak pengusaha dari berbagai sektor dalam pembahasan RUU cuti melahirkan 6 bulan ini agar aturan yang dihasilkan dapat lebih tepat sasaran dan tetap produktif.

Menurutnya, rencana aturan cuti melahirkan 6 bulan ini harus mempertimbangkan berbagai aspek, seperti tingkat produktivitas dan kemampuan pengusaha. Selain itu, dikhawatirkan aturan ini bisa berdampak ke UMKM.

"Perlu suatu kajian yang mendalam apakah harus 6 bulan atau cukup 4 bulan misalnya. Kemudian apakah cuti suami 40 hari juga menjadi keharusan," ucapnya.

Dampak cuti melahirkan 6 bulan ke perusahaan dan UMKM

Dia pun menjabarkan apa saja yang perlu dikaji dan dievaluasi oleh pemerintah dan DPR sebelum mengesahkan hak cuti ini dalam RUU KIA.

Pertama, jika aturan cuti ini diganti maka dapat berpeluang mendorong pengusaha untuk menyiasati pekerjanya menjadi pekerja kontrak.

Pasalnya, pengusaha harus mengeluarkan biaya operasional dalam bentuk gaji selama enam bulan terhadap pekerja yang mendapatkan cuti hamil tersebut.


Kedua, kebijakan cuti ini dapat berpotensi menurunkan peringkat produktivitas tenaga kerja Indonesia yang saat ini sudah jauh tertinggal.

Data dari Asian Productivity Organization (APO) 2020 menunjukkan, posisi produktivitas per pekerja Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia.

Bahkan posisi Indonesia berada di bawah rata-rata tingkat produktivitas tenaga kerja 6 negara Asean dan peringkat dunia, yaitu Indonesia berada diurutan 107 dari 185 negara.

Ketiga, pemerintah juga perlu memperhatikan dampak aturan ini jika diterapkan kepada pelaku usaha UMKM yang berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM berjumlah 64,2 juta di 2018.

Pasalnya, berdasarkan data Kementerian KUKM 2019, tenaga kerja UKM setara dengan 96,92 persen dari total tenaga kerja di Indonesia, yaitu sebanyak 119,6 juta orang.

"Pelaku UMKM memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang. Bisa dibayangkan jika pekerja wanitanya cuti selama 6 bulan dan harus mengeluarkan gaji selama cuti tersebut apakah dari sisi financial UMKM tersebut memiliki kemampuan?" jelasnya.

HIPPI: Cuti melahirkan 6 bulan hanya untuk ASN

Menurutnya, rencana aturan hak cuti melahirkan 6 bulan dan cuti suami 40 hari untuk pekerja ini bisa diterapkan di instansi pemerintahan dan usaha kelas menengah ke atas.

Namun, bagi kalangan pelaku usaha UMKM harus ada kebijakan khusus sehingga kebijakan ini nantinya dapat diterima pelaku usaha.

Meski demikian, lanjutnya, dia memahami dan setuju dengan alasan pemberlakuan aturan cuti melahirkan ini jika ditinjau dari sisi kesehatan.

https://money.kompas.com/read/2022/06/24/055020126/pengusaha-pusing-wacana-cuti-melahirkan-6-bulan-status-pekerja-bakal-disiasati

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke