Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Maju Mundur Pajak Karbon: Dari Regulasi Tak Kunjung Rampung sampai Risiko Global

Pajak karbon adalah amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Ketentuan Penutup UU HPP, tepatnya Pasal 17 Ayat (3), menyatakan pajak karbon mulai diterapkan pada 1 April 2022. Sasarannya, pajak karbon akan diterapkan penuh pada 2025.

Klausul di ketentuan penutup UU HPP itu menyatakan pula bahwa pembangkit listrik tenaga uap batu bara akan menjadi yang pertama dikenai pajak karbon, menggunakan tarif Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen atau satuan setara memakai mekanisme cap and tax.

Adapun ketentuan tentang pajak karbon termaktub dalam Bab VI UU HPP. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam paparannya tentang UU HPP pada 7 Oktober 2021 mengurai nantinya akan ada dua skema dalam penerapan pajak karbon, yaitu cap and trade dan cap and tax.

Entitas yang menghasilkan emisi melebihi batas atas (cap) emisi karbon diharuskan membeli izin emisi (SIE) dari entitas yang emisinya masih di bawah cap atau membeli sertifikat penurunan emisi (SPE/offset karbon).

Dalam hal entitas itu tak bisa membeli SIE atau SPE atas kelebihan emisinya, sisa emisi itu akan dikenakan pajak karbon. 

Penundaan pertama

Pada 28 Maret 2022, Kementerian Keuangan mengumumkan penundaan penerapan pajak karbon. Pemberlakuan pajak karbon dijadwal ulang menjadi mulai 1 Juli 2022.

"Kami melihat ruang untuk menunda penerapan dari pajak karbon ini yang semula 1 April 2022 ini dapat kita tunda ke sekitar bulan Juli sambil kami menyiapkan peraturan perundang-undangan yang semakin komprehensif," ungkap Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam konferensi pers APBN Edisi Maret 2022, Senin (28/3/2022).

Menurut Febrio, peraturan perundangan yang memayungi pajak karbon tidak hanya turunan dari UU HPP.  Dia antara lain merujuk keberadaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. 

"Karena memang juga ada Perpres 98 terkait dengan nilai ekonomi karbon yang memang dari awal kami ingin memastikan konsistensi kebijakan dari pajak karbon ini adalah dalam konteks nilai ekonomi karbon," ujar Febrio.

Febrio menegaskan bahwa pengaturan pajak karbon akan terkoneksi dengan pokok-pokok pengaturan tentang pasar karbon yang menjadi salah satu cakupan dalam Perpres Nomor 98 Tahun 2021. "Dari awal kami ingin connect antara keduanya," kata dia.

Pada penundaan pertama ini, Febrio menyebut bahwa pemerintah juga memantau kesiapan pasokan dan harga kebutuhan, terkait daya beli masyarakat. 

Lalu, lewat siaran pers tertanggal 1 April 2022, Febrio menjelaskan bahwa pajak karbon akan diterapkan ketika regulasi dan sektor ketenagalistrikan sebagai sektor pertama yang dikenai pajak ini sudah lebih siap. Harapannya, penerapan pajak karbon akan benar-benar berdampak optimal.

Regulasi dalam hal ini adalah aturan teknis pelaksanaan pajak karbon. Aturan pelaksanaan itu mencakup tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon.

Aturan teknis lain terkait pajak karbon adalah batas atas emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan nilai ekonomi karbon pada pembangkit tenaga listrik yang akan ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Berkaitan dengan hal tersebut, ungkap Febrio, pemerintah tengah menyiapkan pula aturan teknis dari Perpres Nomor 98 Tahun 2021. Dalam hal ini, aturan turunan tersebut mencakup tata laksana penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) dan nationally determined  contributions (NDC) di Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

“Isu iklim merupakan isu lintas sektor. Koordinasi akan terus kami jaga dan perkuat agar peraturan yang melengkapi satu sama lain dapat mengoptimalisasi upaya pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim,” kata Febrio.

Febrio menegaskan bahwa penerapan pajak karbon tidak semata bertujuan menambah penerimaan APBN. Menurut dia, pajak karbon juga adalah instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).

“Pengenaan pajak karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon,” kata Febrio

Di sisi lain, proses penyusunan peta jalan atau roadmap pajak karbon perlu memperhatikan pula peta jalan pasar karbon. Peta jalan pajak karbon diantaranya akan memuat strategi penurunan emisi karbon dalam NDC, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru terbarukan, dan keselarasan dengan peraturan lain.

“Dalam implementasinya, pemerintah akan memperhatikan transisi yang tepat agar penerapan pajak karbon ini tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pascapandemi,” ujar Febrio.

Menurut Febrio, pengenaan pajak karbon akan dilakukan bertahap dengan memperhatikan prioritas dalam pencapaian target NDC, perkembangan pasar karbon, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi Indonesia. Tujuannya, pajak karbon di Indonesia memenuhi asas keadilan, terjangkau, dan mengutamakan kepentingan masyarakat.

“Berbagai upaya dan komitmen yang diperbarui menunjukan keseriusan pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, kita perlu mengoptimalisasi seluruh instrumen yang ada termasuk pendanaan APBN dan swasta,” kata Febrio. 

Penundaan kedua

Pengumuman mengenai penundaan lagi penerapan pajak karbon disampaikan dalam Konferensi Pers APBN Edisi Juni 2022, pada Kamis (23/6/2022). Kondisi perekonomian global, termasuk situasi geopolitik seperti perang di Ukraina, menjadi pertimbangan penundaan selain persiapan regulasi yang belum tuntas juga.

"Dengan kondisi saat ini, pemerintah mempertimbangkan untuk me-review kembali pemberlakuan pajak karbon. (Namun), pajak karbon tetap ditargetkan untuk dikenakan pertama kali pada PLTU batu bara dengan mekanisme cap and tax mulai tahun 2022," papar Febrio.

Menurut Febrio, peraturan pendukung pemberlakuan pajak karbon masih terus dimatangkan oleh seluruh kementerian lembaga, termasuk Kementerian Keuangan. Penyusunan aturan ini, lanjut dia, mempertimbangkan segala aspek terutama pengembangan pasar karbon dan kesiapan sektor terkait. Kondisi global, kata Febrio, juga terus diantisipasi dengan hati-hati. 

Dalam keterangan pers Jumat (24/6/2022), Kementerian Keuangan menegaskan kembali komitmen untuk mencapai NDC sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen menggunakan dukungan internasional pada 2030, sekalipun penerapan pajak karbon ini tertunda lagi tak jadi diberlakukan mulai 1 Juli 2022.

Febrio menyatakan, pemerintah tetap menempatkan perubahan iklim sebagai prioritas. Namun, kata dia, perekonomian saat ini juga tengah menghadapi risiko global yang membayangi upaya pemulihan ekonomi selepas pandemi Covid-19.

“Saat ini, fokus utama Pemerintah adalah menjaga perekonomian nasional dari rambatan risiko global yang salah satunya adalah peningkatan harga komoditas energi dan pangan global seiring terjadinya perang di Ukraina yang menyebabkan peningkatan inflasi domestik,” urai Febrio.

Dengan perkembangan tersebut, lanjut dia, pemerintah memprioritaskan fungsi APBN untuk memastikan ketersediaan dan stabilisasi harga energi dan pangan di dalam negeri, termasuk memberikan subsidi dan berbagai bentuk perlindungan sosial untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari dampak kenaikan harga.

"APBN sebagai peredam guncangan (shock absorber) menjadi instrumen sentral dalam menjaga dan melindungi perekonomian dan rakyat dari dampak kenaikan harga pangan dan energi global," kata Febrio.

Pemerintah juga tetap menjadikan penerapan pajak karbon pada 2022 sebagai capaian strategis (deliverables) yang menjadi contoh dalam pertemuan tingkat tinggi G20.

“Termasuk bagian dari deliverables ini, Pemerintah juga mendorong aksi-aksi mitigasi perubahan iklim lainnya, di antaranya melalui mekanisme transisi energi (energy transition mechanism/ETM) yang di satu sisi memensiunkan dini PLTU batu bara (phasing down coal) dan di sisi lain mengakselerasi pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT) dengan tetap mempertimbangkan dampak sosial dan ekonominya,” papar Febrio.

Terpisah, peneliti perpajakan, Fajry Akbar, berpendapat penerapan pajak karbon pada 2022 dirasa kurang tepat. Ini karena harga komoditas energi seperti bahan bakar minyak dan batu bara sedang tinggi-tingginya.

Seperti dikutip Kontan, Fajry menyarankan pemerintah menjalankan terlebih dahulu administrasi pajak karbon tanpa pemungutan. Dia pun menyayangkan bahwa hingga saat ini regulasi teknis pajak karbon belum juga tuntas.

“Paling penting administrasinya jalan dahulu tanpa ada pemungutan pajak karbon lalu diberikan relaksasi. Nanti, ketika harga energi sudah kembali normal barulah dipungut pajak karbon (saat) di sisi lain administrasinya sudah siap,” imbuh Fajry, Jumat (24/6/2022).

Baca di Kontan: Penerapan Pajak Karbon 1 Juli 2022 Ditunda, Ini Kata Pengamat Pajak

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

https://money.kompas.com/read/2022/06/25/065032226/maju-mundur-pajak-karbon-dari-regulasi-tak-kunjung-rampung-sampai-risiko

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke