Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Efek Perang Ukraina, Euro Setara Dollar AS untuk Kali Pertama sejak 2002

PERANG Ukraina semakin memperlihatkan dampak bagi ekonomi dunia. Untuk kali pertama sejak 20 tahun terakhir, nilai tukar (kurs) satu euro tepat setara satu dollar AS pada Selasa (12/7/2022).

Mata uang tunggal Eropa, euro, terakhir kali tercatat memiliki kurs tepat setara dengan dollar AS pada Desember 2002. Secara umum, kurs euro selalu lebih tinggi dari dollar AS.

Sempat bernilai tukar kurang dari satu dollar AS, euro ditutup di level 1,0070 dollar AS pada akhir perdagangan Selasa. Sebaliknya, bursa saham di Eropa dan Amerika berakhir menguat pada perdagangan Selasa. 

Kesetimbangan nilai tukar euro dan dollar AS pada Selasa merupakan lanjutan imbas perang Ukraina. Bagi Eropa, krisis di Ukraina berdampak nyata dan berat dari sisi energi—terutama gas alam—yang kemudian bergulir menjadi kekhawatiran resesi di zona euro.

Harga minyak dunia jatuh seturut sanksi untuk Rusia yang berimbas pada berkurangnya pasokan di pasar. Ini ditambah lagi dengan kebijakan pengetatan moneter oleh bank sentral utama dunia, termasuk The Fed dan ECB.

Saat ini, harga minyak dunia kembali jatuh ke level di bawah 100 dollar AS per barrel. 

"Meningkatnya inflasi, terhentinya pertumbuhan ekonomi, dan baru-baru ini kekhawatiran bahwa Rusia dapat memotong pasokan gas, telah menarik (kurs) euro (menjadi) lebih rendah," kata Fiona Cincotta dari City Index, sebagaimana dikutip AFP, Selasa.

Cincotta menambahkan, situasi perekonomian menjadi lebih buruk di Eropa ketika keyakinan ekonomi di Jerman jatuh ke level terendah dalam satu dekade terakhir. 

Raksasa energi Rusia Gazprom pada Senin (11/7/2022) memulai 10 hari pemeliharaan pipa Nord Stream 1, jaringan gas yang langsung menyambung dari Rusia ke Eropa.

Pemeliharaan ini dipantau dengan cemas oleh negara-negara di Eropa, terutama Jerman yang sangat tergantung pada pasokan gas Rusia, untuk memastikannya kembali mengalirkan gas.

"Krisis gas telah benar-benar menakuti pasar atas ekonomi zona euro," kata analis Markets.com Neil Wilson kepada AFP.

Dengan hubungan antara Rusia dan Barat pada titik terendah dalam beberapa tahun karena invasi Ukraina, analis memperkirakan ada kemungkinan Gazprom tidak membuka kembali katup pipa Nord Stream 1.

"Beberapa minggu ke depan bisa menjadi tantangan bagi Eropa, dengan kemungkinan ketidakpastian maksimum hingga Agustus," kata Stephen Innes dari SPI Asset Management, sebagaimana dikutip AFP.

Para analis pun menyebut bahwa para investor semakin percaya terhadap kemungkinan tidak mengalirnya kembali gas melalui Nord Stream 1 seusai jadwal pemeliharaan pada 11-21 Juli 2022 tersebut. Alasan yang mungkin dipakai adalah "gangguan sementara lebih lanjut".

Terlepas dari krisis di Ukraina, situasi wabah Covid-19 di China menjadi faktor penambah situasi mencekam perekonomian global. Kekhawatiran kembali akan ada penutupan akses (lockdown) menjadi bayangan suram, tepat ketika investor bersiap untuk satu pekan data perekonomian dan pendapatan perusahaan.

Laporan lapangan kerja yang menohok di Amerika Serikat pada pekan lalu, misalnya, menyarankan negara dengan perekonomian terbesar dunia tersebut untuk mengatasi gejolak ekonomi saat ini menggunakan kebijakan suku bunga The Fed yang lebih tinggi lagi.

Masalahnya, menaikkan kembali suku bunga acuan tersebut berpeluang juga untuk memberi bank sentral ruang yang lebih banyak untuk melanjutkan pengetatan moneter. Bila terjadi pengetatan lanjutan dan terlalu jauh, kontraksi ekonomi pun dipastikan bisa terjadi.

Sebelum ini, kenaikan agresif suku bunga acuan The Fed telah pula memberi tekanan terhadap euro. Dollar AS telah melonjak lebih dari 14 persen terhadap euro sejak awal tahun.

Data inflasi di AS yang dirilis pada Rabu (13/7/2022) diyakini juga dapat memperkuat argumen bagi The Fed untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya secara agresif.

"Untuk mengantisipasi itu, investor telah mundur ke dollar AS yang aman sekali lagi, menjauhi aset berisiko demi aset surga", kata analis pasar Craig Erlam di platform perdagangan OANDA.

Bank sentral telah meningkatkan biaya pinjaman dalam upaya untuk menjinakkan inflasi, yang telah didorong oleh melonjaknya harga energi.

Harga minyak dan gas telah meroket tahun ini seturut pembukaan kembali ekonomi selepas pandemi global Covid-19 yang disusul invasi Rusia ke Ukraina. Kedua situasi memicu kekhawatiran atas kecukupan pasokan energi global, terutama Eropa. 

Namun, situasi dengan cepat berbalik oleh sebab yang sama. Kali ini dinamika geopolitik memunculkan kekhawatiran resesi yang bakal mengaburkan prospek permintaan minyak pada jangka pendek.

Pasar minyak berjangka Brent ditutup di bawah 100 dollar AS per barrel untuk kali pertama dalam tiga bulan perdagangan terakhir. Kontrak internasional untuk pengiriman September 2022 turun 7,1 persen menjadi 99,49 dollar AS per barrel. 

Sementara itu, harga minyak di pasar patokan Amerika Serikat, West Texas Intermediate (WTI), ditutup turun 7,9 persen menjadi 95,84 dollar AS per barrel.

"Penurunan kurs mata uang meningkatkan kekhawatiran bahwa Eropa akan mengalami resesi, dan bahwa mereka harus menaikkan suku bunga, yang dapat memperlambat permintaan minyak," kata Andy Lipow dari Lipow Oil Associates. "Ada juga kekhawatiran tentang (kemungkinan kembali ada) penutupan di China."

Terlepas dari kekhawatiran tentang melemahnya prospek ekonomi, analis telah pula memperingatkan bahwa persediaan minyak global saat ini terpantau rendah berdasar standar historis. Ini berarti pasar sewaktu-waktu dapat mengalami kesulitan memenuhi permintaan begitu ada gangguan pasokan. 

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

https://money.kompas.com/read/2022/07/13/063400626/efek-perang-ukraina-euro-setara-dollar-as-untuk-kali-pertama-sejak-2002

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke