Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menghela Turbulensi Ekonomi Global

September ini The Fed, bank sentral Amerika Serikat (AS), kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps). Bank Sentral Eropa juga telah menaikan suku bunga 75 bps untuk suku bunga repo. BI turut menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 4,25 persen.

Hal ini dilakukan untuk mengurangi permintaan agregat hingga ikutannya adalah menekan inflasi dan menahan ekspektasi inflasi. Tingginya inflasi saat ini bukan semata-mata fenomena moneter yang didorong oleh pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Kenaikan inflasi merupakan konsekuensi dari perbedaan pertumbuhan ekonomi global dan penyusutan angkatan kerja dunia. Penyebabnya adalah struktur demografi yang berprofil populasi yang semakin menua.

Pertanyaan yang muncul dari fenomena itu adalah mungkinkah pengetatan moneter dapat menyelesaikan masalah mendasar dari fenomena inflasi yang lebih tinggi?

Perbedaan geopolitik yang berkembang di tatanan global, dengan Amerika Serikat di satu pihak dan tatanan alternatif yang dipimpin Rusia dan China di pihak lain menjadi medan pertempuran ekonomi sengit dan berdampak global. Sanksi ekonomi terhadap Rusia berdampak signifikan dalam memantik pengurangan pasokan gas dan minyak ke Eropa Barat.

Belum lagi ikutannya yaitu serta merta mendorong secara eksesif harga energi secara dramatis. Hal ini mengancam penutupan sektor manufaktur di Eropa Barat yang selama ini disokong gas alam Rusia yang relatif murah. Jika itu terjadi, dampaknya adalah biaya produksi jauh lebih tinggi.

Selain itu, kombinasi antara impor yang lebih tinggi dengan ekspor yang rendah menyebabkan neraca transaksi berjalan negara-negara maju menuju ke arah defisit. Posisi itu menekan mata uang mereka.

China diuntungkan

Sementara itu, penerima manfaat utama dari kenaikan suku bunga The Fed dan fenomena “decoupling” Rusia adalah China. China menikmati harga minyak dan gas Rusia yang lebih rendah dan itu akan semakin mengurangi biaya produksi China.

Pada aras ini, memunculkan spekulasi bahwa setiap upaya negara Barat dalam pengembangan kebijakan ekonomi hijau akan menguntungkan China. Ini terjadi karena China telah membangun sebagian besar kapasitas energi hijau global.

Poin penting lain adalah pengenaan tarif yang lebih rendah akan memungkinkan pemerintah beberapa negara berkembang dan maju untuk memulai kebijakan dan kegiatan ekonomi baru. Rendahnya suku bunga China dan pelemahan mata uang China, renminbi, akan membuat pinjaman dalam mata uang China lebih murah, yang selanjutnya mendorong internasionalisasi renminbi.

Fenomena kebijakan moneter The Fed yang ketat telah mengapresiasi dolar dan meningkatkan biaya sektor keuangan AS karena imbal hasil obligasi Amerika Serikat lima tahun dan 10 tahun masing-masing sebesar empat persen dan 3,7 persen, naik dari 3 persen dan 2,6 persen dari tahun lalu.

Pembiayaan proyek-proyek besar seperti pengembangan pipa minyak, pembangkit listrik tenaga nuklir, dan terminal LNG menjadi sangat mahal, sehingga memperlambat perluasan kapasitas produksi energi. Karena itu, sangat mungkin kita akan hidup di dunia dengan harga energi yang lebih tinggi tetapi pertumbuhan yang lebih rendah.

Bagaimana Indonesia?

Bagi Indonesia, momok stagflasi kemungkinan akan dapat dihindari karena muncul fenomena ledakan komoditas di berbagai sektor, khususnya industri pertanian dan pulihnya industri pariwisata, sehingga surplus ekonomi akan menjadi lebih besar dan pertumbuhan ekonominya didorong oleh konsumsi swasta.

Namun, pastinya Indonesia tidak kebal dari inflasi. Ketika menengok pergerakan inflasi utama telah merangkak naik, BI belum berubah menjadi hawkish sampai Awal Agustus, dan itu keputusan yang benar untuk dilakukan.

Selama periode sebelum Agustus 2022, rupiah menguat karena aliran masuk modal asing yang positif dan tekanan inflasi domestik yang minimal. Pada minggu akhir Agustus, BI berubah menjadi hawkish karena melihat kenaikan inflasi inti, ukuran permintaan agregat domestik yang lebih rekat daripada inflasi utama, merayap naik hingga 3 persen, dan mengancam akan meningkat lebih lanjut karena kenaikan harga eceran bahan bakar baru-baru ini.

Sejauh ini BI telah menaikkan suku bunganya hanya sebesar 75 bps, untuk menahan tekanan pada rupiah dan memberi sinyal pengetatan moneter ke depan untuk mengurangi inflasi inti. Ke depan, kita bisa berharap sikap agresif BI akan berubah.

September ini saja, disinyalir inflasi inti berkutat pada 3,5 persen, sedangkan inflasi headline diperkirakan sekitar 6,08 persen (yoy), naik dari 4,69 persen pada Agustus. Cadangan devisa BI turun signifikan seiring pelemahan rupiah.

Karena itu, besar harapan BI akan menaikkan suku bunga kebijakan hingga 5 atau 5,25 persen pada akhir tahun agar aset rupiah tetap menarik bagi investor portofolio asing. Pada level tersebut, suku bunga masih belum terlalu mengganggu pertumbuhan pasca pandemi, terutama karena transmisi kebijakan kenaikan suku bunga dalam perekonomian akan memakan waktu sekitar enam bulan.

Namun, ini tidak cukup, BI juga harus gencar memberlakukan kewajiban repatriasi pendapatan ekspor ke sektor keuangan domestik dan membujuk sektor swasta domestik untuk meningkatkan produktivitasnya, mungkin bank dan korporasi yang masih memiliki likuiditas tinggi untuk membeli obligasi pemerintah.

Dalam jangka menengah hingga panjang, pemerintah dan BI harus koordinasi guna menghindari jebakan dalam “perangkap komoditas” dengan mengintegrasikan keputusan ekonomi yang diambil ke dalam rantai nilai global yang divergen dan menggali potensinya ekonomi yang ada.

Poin utama lain adalah mengarus pada giat pemerintah yang harus memanfaatkan fenomena bonus demografi. Paling tidak dengan membuat kebijakan ekonomi yang mengarah ke investasi asing dengan prosedur yang lebih mudah untuk melakukan bisnis melalui reformasi regulasi, birokrasi, serta infrastruktur yang lebih baik.

https://money.kompas.com/read/2022/10/13/102017226/menghela-turbulensi-ekonomi-global

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke