Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jejak Bos MNC Group Hary Tanoe: Protes Siaran TV Digital, Pernah Gugat YouTube dan Netflix Dkk

KOMPAS.com - Bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo alias Hary Tanoe melayangkan protes dengan kebijakan migrasi TV digital ke TV analog atau juga dikenal dengan Switch Off Analog (ASO).

Pengalihan siaran TV analog ke digital merupakan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 78 Angka 3 Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar).

Pria yang juga akrab disapa HT ini mengaku merasa ditekan pemerintah agar perusahaannya ikut mematikan siaran analog dan berganti menjadi siaran digital. Ia juga meminta maaf kepada seluruh pemirsa televisinya karena pihaknya tak memiliki pilihan lain.

Bahkan, pendiri Partai Perindo itu sempat berencana membawa hal tersebut ke jalur hukum. Meski kesal dengan aturan tersebut, pemilik siaran TV RCTI, MNCTV, INews, GTV, mengaku terpaksa tetap mematikan siaran TV analog di Jabodetabek pada 3 November pukul 00:00 WIB.

"Mohon maaf kepada pemirsa RCTI, MNCTV, GTV dan iNews se-Jabodetabek, karena adanya permintaan oleh Menko Polhukam, Bapak Mahfud MD untuk mematikan siaran analog di wilayah Jabodetabek," tulis Hary Tanoe dikutip dari akun Instagram resminya yang sudah terverifikasi, Minggu (6/11/2022).

"Maka kami dengan sangat terpaksa mengikuti permintaan tersebut, meskipun masih tidak paham dengan landasan hukum yang dipakai," kata dia lagi.

Hary Tanoe bilang, banyak pemirsa di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang kini tak lagi bisa mengakses saluran televisi akibat kebijakan tersebut.

"MNC Group menyadari, tindakan mematikan siaran dengan sistem analog ini sangat merugikan masyarakat Jabodetabek," ucap Hary Tanoe.

Menurut dia, masih banyak masyarakat yang belum memiliki perangkat set top box (STB), terutama untuk masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah.

"Diperkirakan 60 persen masyarakat di Jabodetabek tidak bisa lagi menikmati siaran televisi secara analog, kecuali membeli set top box baru atau mengganti televisi digital atau berlangganan TV parabola," kata dia lagi.

STB merupakan alat dekoder yang berfungsi mengkonversi sinyal digital menjadi gambar dan suara. Dengan STB, tayangan TV digital tetap bisa ditampilkan di televisi analog.

Bahkan, Hary Tanoe bilang, kebijakan pemerintah memaksa stasiun televisi mematikan siaran analog dinilai cacat hukum. Ia lalu menyinggung implementasi UU Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Menurut dia, apabila merujuk pada UU tersebut, seharusnya siaran TV analog dimatikan secara nasional secara serentak, bukan lagi hanya terbatas wilayah Jabodetabek.

Terlebih, MNC Group mengaku selama ini belum sekali pun menerima surat resmi terkait instruksi pemerintah untuk mematikan siaran TV analog mereka.

"Tetapi sekali lagi dikarenakan adanya permintaan dariu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Bapak Mahfuf MD, maka kami akan tunduk dan taat," ucap Hary Tanoe.

Pernah gugat OTT YouTube dkk

Sebelum ramai soal protes Hary Tanoe terkait migrasi siaran digital, MNC Group juga pernah menggugat keberadaan layanan berbasis Over The Top (OTT) seperti Netflix dan Youtube.

Jika disederhanakan dalam Bahasa Indonesia, secara harfiah OTT berarti menumpang, dalam hal ini layanan mereka menumpang jaringan internet milik operator selular maupun penyedia internet kabel.

Sederhananya, layanan menonton video atau film secara daring (streaming) yang disajikan Netflix hingga YouTube dilakukan melalui jaringan atau infrastruktur milik operator, tetapi tidak secara langsung melibatkan operator.

Selain Netflix dan YouTube, pemakai OTT terbesar di Indonesia antara lain Facebook, WhatsApp, TikTok, Vidio, Viu, Viber, HOOQ, IFLIX, Catchplay, GoPlay, Telegram, dan Skype.

Pada September 2020, MNC Group melalui dua perusahaan televisinya, PT Visi Citra Mitra Mulia ( iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran).

Menurut MNC Group, gugatan bertujuan untuk menghadirkan konten yang lebih berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.

MNC Group menyatakan, mengatakan bahwa gugatan tersebut tidak hanya menitik beratkan pada kualitas konten yang lebih baik, melainkan juga komitmen aplikasi OTT atas konten-konten yang mereka siarkan.

Menurut MNC Group, OTT tidak memiliki beban tanggung jawab yang sama seperti para pemain lembaga penyiaran free-to-air (FTA). Jika gugatan tersebut dikabulkan MK, maka OTT lebih bertanggung jawab dalam mengawasi konten-konten yang mereka siarakan.

Dalam gugatannya RCTI dan iNews TV menilai Pasal 1 angka 2 UU tentang Penyiaran menyebabkan terjanya perbendaan perlakuan antara penyelenggara penyiaran FTA yang menggunakan frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran barbasis layanan OTT yang menggunakan internet, seperti YouTube dan Netflix.

Gugatan MNC Group ditolak MK

Pada Januari 2021, MK menolak gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yang diajukan PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI).


Majelis Konstitusi menilai, gugatan yang diajukan iNews TV dan RCTI tidak berdasar menurut hukum.

"Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah ubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi amar putusan mengadili menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan yang disiarkan secara daring, 14 Januari 2021.

Adapun salah satu alasan iNews dan RCTI mengajukan gugatan adalah karena Pasal 1 Angka 2 dalam UU Penyiaran menimbulkan perlakuan berbeda antara siaran konvensional dengan siaran internet, seperti YouTube dan Netflix.

Jika gugatan ini diterima, banyak pihak yang memprediksi akan berdampak terhadap pengisi konten di platform digital, seperti pembuat konten YouTube alias Youtuber, atau Netflix, salah satunya terkait pengaturan sesuai UU Penyiaran.

Dalam kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan, gugatan yang diajukan oleh iNews dan RCTI tidak berdasar seluruhnya.

Majelis menilai, pengawasan konten over the top (OTT) bisa dilakukan melalui UU ITE, sedangkan sanksinya juga telah diatur UU ITE dan UU lain yang berkaitan dengan pelanggaran konten OTT.

"Apabila tindak pidana menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak maka pemidanaannya diperberat dengan sepertiga dari pidana pokok," ujar Enny.

"Pemberatan ini juga diperberat bagi korporasi yang melanggar perbuatan yang dilarang dalam UU 11 2008 yang dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga," kata dia.

Selain pengawasan berdasarkan UU ITE, pengawasan juga didasarkan pada berbagai UU sektoral lainnya yang sesuai dengan konten layanan dilanggar.

"Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008, Undang-Undang 28 2014, Undang-Undang 7 Tahun 2014, KUHP, Undang-Undang 40 Tahun 1999 dengan telah ditentukannya aspek menegakkan hukum atas konten pelanggaran OTT dalam UU ITE, UU 36 Tahun 1999, dan berbagai UU sektoral baik dengan pengenaan sanksi administratif maupun sanksi pidana," ucap Enny.

Oleh karena itu, Majelis Hakim Konstitusi menilai dalil gugatan permohon tidak berdasar seluruhnya. Hal itu menyebabkan pengaturan terkait YouTube dan Netflix akan tetap berlaku sebagaimana sebelum adanya gugatan.

(Penulis: Shania Mashabi | Editor: Icha Rastika)

https://money.kompas.com/read/2022/11/06/163655326/jejak-bos-mnc-group-hary-tanoe-protes-siaran-tv-digital-pernah-gugat-youtube

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke