Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Defisit Bawang Putih yang Tak Pernah Digubris

Artinya, impor bawang putih nyaris sempurna memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia sebesar 651.000 ton per tahun alias nyaris mengimpor 100 persen atas tingkat konsumsi nasional.

Menurut data Kementerian Pertanian, produksi petani bawang putih di Indonesia pada 2021 hanya 45.000 ton.

Angka tersebut turun dari 2020 sebesar 81.000 ton dan 2019 sebesar 88.000 ton. Apalagi, sejak tahun 2012 hingga 2017, total produksi bawang putih berkisar antara 15.000 sampai 21.000 ton.

Lalu, menurut data BPS, Indonesia merupakan negara importir bawang putih terbesar di dunia dengan rata-rata volume impor bawang putih sebesar 509.621 ton per tahun.

Jika dirinci per tahun, pada 2014 Indonesia mengimpor 491.103 ton bawang putih. Selanjutnya, sebanyak 479.941 ton bawang putih impor masuk ke Indonesia pada 2015.

Adapun pada 2016, Indonesia mengimpor 444.301 ton bawang putih. Angka tersebut meningkat pada tahun-tahun berikutnya.

Pada 2017, Indonesia mengimpor 549.767 ton bawang putih dan pada 2018 meningkat sebanyak 582.995 ton. Kemudian pada 2019 Indonesia mengimpor bawang putih sebesar 472.503 ton.

Impor bawang putih hanya sempat turun pada 2014 hingga 2016. Namun dikatakan turun tidak berarti terjadi perbaikan fundamental dari sisi kapasitas produksi nasional karena nyatanya kemampuan produksi domestik untuk bawang putih hanya wara-wiri di angka 5 persenan.

Lihat saja dari Data Kementerian Pertanian tahun 2016 tersebut, misalnya, yang mencatat konsumsi bawang putih masyarakat pada 2016 mencapai 465.100 ton, sementara produksi hanya sekitar 21.150 ton sehingga terjadi defisit 443.950 ton.

Kemudian merujuk data tahun 2017 tercatat konsumsi bawang putih mencapai sekitar 482.190 ton, sedangkan produksi hanya 20.460 ton sehingga terjadi defisit 461.740 ton.

Dari data Kementan tersebut terlihat bahwa kebutuhan bawang putih nasional terus meningkat, sementara produksi justru menyusut yang membuat defisit bawang putih semakin melebar.

Pelebaran defisit tersebut dapat dilihat dari data impor bawang putih tahun 2018. Total volume impor bawang putih Indonesia mencapai 583.000 ton, meningkat 4,16 persen tahun sebelumnya yang sebesar 559.700 ton.

Sementara itu, nilai impor bawang putih pada 2018 menurun 16,5 persen 596 juta dollar AS menjadi 497,3 juta dollar AS (faktor apresiasi Rupiah).

Secara pukul rata, diperkirakan selama tenggang waktu 2017-2021, produksi bawang putih bertengger di angka sekitar 19.000-20.000 ton per tahunnya.

Padahal konsumsi bawang putih diperkirakan terus meningkat dari 480.000 hingga 560.000 ton. Alhasil ada defisit sekitar 480.000-550.000 ton hingga 2021.

Angka tersebut tentu saja menjadi sebuah gambaran numerik yang gurih bagi para pelaku impor, sekalipun secara sosial ekonomi cenderung jarang muncul dalam radar perhatian publik karena bawang putih kurang bernilai strategis apabila dibandingkan dengan beras, gula, daging sapi, alih-alih dengan minyak.

Bagaimana tidak, secara rata-rata setiap orang Indonesia hanya butuh bawah putih tak lebih dari satu kilogram dalam setahun.

Mari kita lihat, jika jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 261,89 juta pada tahun 2018, misalnya, dan konsumsi bawang putih sebanyak 482.190 ton, maka konsumsi per kapita bawang putih mencapai hanya 0,18 kg/tahun.

Namun sialnya, karena keremehan tersebut, kita akhirnya hanya punya luas lahan yang menghasilkan panen bawang putih sekira 2.420 ha dengan produktivitas 8,45 ton/ha.

Boleh jadi sebagian lahan tersebut hanya lahan basa-basi dari para importir untuk memenuhi kualifikasi layak impor, yakni harus menanam bawang putih sekira lima persen dari volume yang diimpor.

Jadi secara kasat mata, bisnis bawang putih terlihat remeh. Padahal bumbu dapur yang banyak terserak di los-los becek pasar tradisional tersebut merupakan bisnis yang sangat gurih jika dilihat secara detail.

Mari kita lihat, kebutuhan nasional bawang putih mencapai lebih dari 30.000 ton per bulan. Dari jumlah itu, hanya lima persen yang bisa dipenuhi petani lokal. Sisanya, 95 persen bawang putih harus diimpor setiap tahun.

Lalu dikonfrontasikan dengan Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) yang menunjukkan bahwa selama tahun 2019 saja, harga bawang putih yang dipantau pada lebih dari 90 kota di Indonesia bergerak antara Rp 17.000 hingga Rp 46.000 per kilogram (kg).

Jadi dengan harga rata-rata Rp 30.000 per kg saja, nilai bisnis bawang putih impor mencapai Rp 10,2 triliun lebih tahun 2019, apalagi tahun ini.

Kalau harganya dipermainkan alias diayun-diayun bak roller coaster, sesuai kekuatan stok bawang putih yang dimiliki oleh importir, maka seni berbisnis bawang putih menjadi semakin menarik.

Jadi kondisi fundamental bawang putih yang memang sudah seperti itu atau boleh jadi memang sengaja dibiarkan seperti itu, secara teoritik, mau tak mau memenuhi prasyarat untuk lahirnya kebijakan kuota impor.

Pembatasan impor (Import Quota) merupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang boleh diimpor dengan alasan untuk melindungi produksi dalam negeri (yang kecil sepicing mata itu).

Pemaknaannya nampaknya sangat statis, yang berakibat bahwa angka produksi bawang putih nasional sangat terlindungi, selalu berkisar di angka yang sangat kecil secara konsisten dan terus-menerus.

Pemerintah via Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan ibarat memuseumkan angka produksi bawang putih nasional, melindungi dan memproteksi agar tetap di kisaran yang terus kecil, lalu di waktu yang bersamaan memelihara para importir di luar museum dengan sistem kuota impor.

Secara teoritik, pembatasan biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu atau perusahaan.

Misalnya, Amerika Serikat membatasi impor keju. Hanya perusahaan-perusahaan dagang tertentu yang diizinkan mengimpor keju, masing-masing diberikan jatah untuk mengimpor sejumlah tertentu setiap tahun, tak boleh melebihi jumlah maksimal yang telah ditetapkan.

Besarnya kuota untuk setiap perusahaan didasarkan pada jumlah keju yang diimpor pada tahun-tahun sebelumnya.

Karena berangkat dari filosofi dan teori yang sama, bawang putih diperlakukan dengan kebijakan yang sama, yakni kuota impor.

Selama ini, untuk bawang putih, kuota impor diberikan kepada sejumlah perusahaan yang disaring oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag), berdasarkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian (Kementan).

Sejak 2017, Kementan menetapkan sejumlah syarat bagi "calon" importir bawang putih agar bisa masuk daftar RIPH. Satu di antaranya, importir wajib membuka kebun bawang putih, paling kurang lima persen dari jumlah yang akan diimpor.

Jadi sangat wajar mengapa dalam beberapa tahun terakhir, bermunculan beberapa kebun bawang putih di tanah air, terutama di daerah beriklim sejuk seperti Temanggung dan Wonosobo di Jawa Tengah; lereng Gunung Ijen di Jawa Timur; dan kawasan Sembalun di lereng timur Gunung Rinjani, di Lombok, NTB.

Izin impor bawang putih diterbitkan secara bertahap, bergantung kebutuhan. Siapa saja importir yang mengantongi izin impor per tahun sejak dulu tidak diketahui dengan detail.

Dari berita yang beredar, beberapa tahun lalu, Kemendag sempat mengumumkan tujuh perusahaan yang menerima izin impor untuk 100.000 ton yang merupakan "kloter pertama" dari impor bawang putih tahun 2019.

Itupun dilakukan karena impor bawang putih memakan korban, yakni ditangkapnya salah satu politisi PDIP, Nyoman Dhamantra, yang saat itu masih menjabat sebagai anggota DPR oleh KPK atas kasus ijin impor bawang putih.

Padahal, dengan jumlah kebutuhan yang jauh di bawah bawang merah, beras, gula, dan garam, bawang putih semestinya tidak memerlukan impor.

Tapi apa hendak dikata, kemauan politik sudah hilang sedari dulu, dilenyapkan oleh jurus maut para oligar importir.

Walhasil, bawang putih yang kita konsumsi harus didatangkan dari lahan petani negara lain, tanpa memberi peluang sedikitpun kepada petani kita untuk memproduksinya.

Sungguh sangat kontras dengan janji Presiden Jokowi sejak pertama kali berkuasa tahun 2014, yang menekankan urgensi ketahanan bahan pangan nasional dalam menghadapi situasi ekonomi dunia yang semakin tak pasti.

Bahkan Presiden Jokowi pada pertengahan tahun lalu, mengatakan bahwa pemerintah menjamin ketercukupan pangan dalam negeri di tengah ancaman krisis dunia.

Salah satu caranya adalah dengan peningkatan produksi pertanian domestik melalui pemanfaatan varietas-varietas unggul padi, intensifikasi, maupun ekstensifikasi, ucap beliau saat menerima penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) tahun lalu.

https://money.kompas.com/read/2023/03/06/102158926/defisit-bawang-putih-yang-tak-pernah-digubris

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke