Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengembangan Smelter Nikel di RI Terganjal Masalah Pendanaan

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif mengatakan, pemerintah sudah punya peta jalan hilirisasi mineral dan batu bara (minerba) termasuk nikel hingga 2045.

Hingga saat ini tercatat ada sembilan fasilitas smelter nikel di bawah naungan Kementerian ESDM. Lima di antaranya sudah berproduksi, dan dua masih fase konstruksi. Dua lainnya masih dalam perencanaannya.

Kendala pengembangan smelter di RI

Namun, pembangunan smelter nikel dalam rangka hilirisasi dan memenuhi peta jalan tersebut juga tidak mudah.

Menurut Irwandy, sejumlah kendala dalam pengembangan smelter nikel antara lain masalah pendanaan, pasokan energi, pembebasan lahan, perizinan, dan isu lainnya.

Untuk pendanaan, kata Irwandy, pemerintah sudah mempertemukan pihak perusahaan dengan perbankan untuk melihat peluang potensi pengembangan smelter nikel.

Untuk pembebasan lahan, menurut Irwandy harus dilakukan dengan pendekatan sosial yang baik. Lalu dari sisi perizinan, sudah ada upaya percepatan perizinan dari Pemerintah.

"Sedangkan isu lain, kelemahan kita ada teknologi, kita bayar terlalu bayak untuk teknologi, tenaga kerja asing, kedatangan alat, itu bergantung pada kerja sama industri dengan pemerintah," kata Irwandy dalam acara workshop Peningkatan Kapasitas Media Sektor Minerba bertema "Creating Good News for a Better Minerals Sector" yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S), di Jakarta, Rabu (8/3/2023).

Kendala pendanaan smelter nikel

Roy A Arfandy, Direktur Utama PT Trimegah Bangun Persada, holding dari Harita Nickel, mengakui adanya kendala pendanaan saat awal pengembangan smelter nikel.

Dia berharap adanya dukungan pemerintah dalam mengatasi masalah pendanaan Ini.

"Setengah mati cari pinjaman. Pabrik MHP (mixed hydroxied predipitate) kami investasinya besar, 1,2 miliar dollar AS. Untuk pendanaan memang perlu dibantu. Bank pemerintah banyak menahan untuk pendanaan karena masalah sumber listrik,” kata dia.

Masalah energi juga "menghantui" pengembangan smelter nikel Harita. Roy mengungkapkan di Halmahera, Maluku Utara kebutuhan listrik berasal dari pembangkit yang dibangun perusahaan, yaitu pembangkit batu bara.

“Kami sudah coba menggunakan panel surya, tapi kapasitasnya tidak besar dan butuh lahan yang sangat luas, ratusan hektar. Kami juga butuh izin lebih lanjut untuk eksplorasi lanjutan," ujarnya.


Pendanaan bank lokal

Roy mengatakan saat ini pihaknya tengah mempersiapkan initial public offering (IPO) guna mendapatkan pendanaan proyek High Pressure Acid Leaching (HPAL) kedua.

"Sekarang sudah mulai banyak bank yang masuk ke industri nikel. Waktu mulai bangun, masih greenfield terpaksa pakai dana sendiri, sudah mulai setengah jadi baru bank masuk. Awalnya pasti susah. Sekarang sudah mulai banyak. Malah ada bank yang tanya apakah akan ada proyek HPAL kedua. Jadi untuk pendanaan, ada 3 opsi, bank, obligasi, dan IPO," jelasnya.

Haykel Hubeis, Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), mengakui kendala pendanaan, khususnya pada bank-bank lokal.

Di sisi lain, perusahaan asing justru ebih dominan dalam melihat potensi.

"Entah dari China, India atau negara asia lainnya seperti Jepang, malah melihat potensi. Memang smelter perlu effort dan tanggung jawab besar. Perlu Satgas Hilirisasi," kata Haykal.

https://money.kompas.com/read/2023/03/08/191542126/pengembangan-smelter-nikel-di-ri-terganjal-masalah-pendanaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke