Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Janji Populis dan Instabilitas Ekonomi Jangka Panjang

“Gratis”, “naik gaji”, atau “harga murah” menjadi beberapa kata kunci janji populis yang ditawarkan, serta dibalut dengan frasa populer “demi kepentingan rakyat” atau frasa sejenis.

Menurut Aiginger (2019), nuansa semacam ini merupakan ciri khas populisme, yang mengedepankan retorika atas nama rakyat dan kepentingan bersama.

Hal ini tentu sudah dianggap lumrah secara politik, karena populisme telah lama menjadi bagian integral dalam sejarah politik Indonesia sejak era kemerdekaan.

Siklus dan polanya bersifat serial atau berulang sejak pemilu Reformasi pertama pada 1999 hingga saat ini.

Stankov dalam bukunya The Political Economy of Populism (2020) bahkan menyebutnya dengan istilah siklus populis (populist cycles), di mana isu-isu identitas dan variabel sosial-ekonomi memengaruhi pola pemilihan yang ekstrem (extreme voting patterns).

Dalam konteks politik, ketika pemilih dihadapkan pada isu-isu identitas, seperti etnis, agama, atau nasionalisme, serta variabel ekonomi seperti ketidaksetaraan ekonomi, mereka cenderung membuat keputusan pemilihan yang lebih ekstrem.

Dengan kata lain, masyarakat cenderung memberikan dukungan kuat kepada kandidat atau partai pengusung retorika populis yang menyoroti isu-isu identitas atau janji-janji ekonomi yang dramatis.

Namun, fenomena yang umum terjadi adalah fluktuasi dukungan publik, di mana pemilih beralih mendukung janji-janji populis selama kampanye pemilu, namun sering merasa kecewa dengan pelaksanaannya setelah pemilu berakhir.

Hal ini mencerminkan fakta bahwa janji-janji populis sering kali tidak sepenuhnya direalisasikan dalam tindakan nyata.

Di Indonesia, agenda populisme tak lepas dari konflik yang telah berlangsung sejak lama dalam konteks politik dan ekonomi.

Konflik ini melibatkan pertentangan antara tujuan-tujuan penting nasional seperti kemerdekaan nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan ekonomi.

Dalam artikel “Populisme Indonesia” (2019), Liddle menyatakan bahwa sejak pemilihan umum pertama pasca-Reformasi pada 1999 hingga saat ini, hampir setiap calon presiden berjanji untuk melanjutkan visi seperti yang pernah dipegang oleh Soekarno, dengan penekanan kemerdekaan dan kemandirian nasional.

Namun, setelah memenangkan pemilu, para presiden cenderung menerapkan pendekatan lebih pragmatis, lebih mirip dengan kebijakan ekonomi masa pemerintahan Soeharto, yaitu mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mempertahankan stabilitas ekonomi makro.

Sayangnya, banyak politisi cenderung melupakan perhitungan konsekuensi jangka panjang, walaupun mereka terinspirasi oleh semangat nasionalisme dari Orde Lama dan pragmatisme dari Orde Baru.

Hal ini berpotensi menciptakan kesenjangan antara janji-janji populis dan realitas ekonomi, yang pada akhirnya dapat memicu instabilitas ekonomi masa mendatang.

Ini sesuai temuan Funke (2022) yang menunjukkan bahwa di bawah kepemimpinan populis, perekonomian dapat tetap tumbuh positif, tetapi cenderung lebih lambat daripada yang diharapkan. Fase ini kemudian diikuti oleh stagnasi pendapatan per kapita dalam jangka panjang.

Inkonsistensi waktu kebijakan

Masalah utama yang muncul dari janji populis adalah adanya masalah inkonsistensi waktu saat proses realisasi janji tersebut menjadi kebijakan (time-inconsistent policymakers).

Bahkan, masalah inkonsistensi waktu sebenarnya juga bisa terjadi pada kebijakan yang dibuat oleh politisi yang tidak memiliki agenda populis.

Inkonsistensi waktu (time inconsistency) adalah masalah ketika para pembuat kebijakan, terutama politisi, ingin mengubah atau melanggar janji yang telah mereka buat sebelumnya ketika situasi atau kepentingan berubah.

Ini terjadi karena biaya dan manfaat (costs and benefits) dari perubahan tersebut muncul pada waktu yang berbeda.

Dalam konteks ini, para pembuat kebijakan sering kali tergoda untuk mengambil tindakan yang mungkin tampak menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi bisa merugikan dalam jangka panjang.

Ini berarti manfaat dari kebijakan atau perubahan institusional tersebut mungkin segera terasa dalam jangka pendek, sementara biayanya dapat terakumulasi dan menjadi beban pada belanja pemerintah masa depan.

Hal ini meningkatkan potensi risiko dari janji-janji populis yang tidak diperhitungkan dengan matang, dapat mengakibatkan defisit anggaran yang meningkat dan stabilitas fiskal terganggu.

Biaya dari defisit anggaran yang tinggi dan peningkatan utang mungkin baru terasa dalam jangka waktu yang lebih panjang, dengan potensi memperbesar kesenjangan antargenerasi (intergenerational inequality).

Ini kemudian dapat memaksa pemerintah untuk menerapkan kebijakan penghematan (austerity) yang dapat memengaruhi anggaran kesejahteraan masyarakat.

Dalam situasi ini, pada akhirnya pemerintah harus mencari sumber pendapatan dan pembiayaan tambahan, bisa dengan menarik utang baru atau meningkatkan pajak untuk mengatasi defisit yang semakin memburuk.

Pembaruan perangkat komitmen

Untuk menangkal risiko inkonsistensi waktu dari populisme yang dapat membebani perekonomian jangka panjang, diperlukan pembaruan desain mekanisme perangkat komitmen (commitment devices) dalam sistem demokrasi yang sudah ada (Blejer, 2017).

Perangkat komitmen demokrasi mengacu pada aturan dan institusi yang dirancang untuk memastikan bahwa pemerintah bertindak sesuai dengan komitmen awalnya, yang seharusnya untuk kepentingan rakyat dan bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu di masa depan.

Implementasinya bisa melalui penggunaan klausul batas waktu atau sunset clause, di mana peraturan atau kebijakan tertentu akan secara otomatis berakhir setelah jangka waktu tertentu.

Selanjutnya, aturan tersebut akan ditinjau atau dievaluasi berkala untuk menentukan apakah masih efektif dalam implementasinya atau tidak.

Dalam melakukan tinjauan, kriteria yang sangat hati-hati perlu diterapkan. Kebijakan yang dinilai berhasil dapat dipertahankan dan ditingkatkan, sementara kebijakan yang dianggap gagal atau tidak efektif dapat direvisi atau dihentikan sepenuhnya.

Konsep ini dapat diterapkan di berbagai sektor ekonomi, termasuk pada kebijakan subsidi. Contohnya, saat harga komoditas pangan melonjak tajam dan mengancam keamanan pangan, pemberian insentif atau subsidi pangan dapat mengikutsertakan klausul batas waktu (sunset clause) sebagai salah satu opsi kebijakan kondisional dan temporer (Amaglobeli, 2022).

Tujuannya, untuk memastikan bahwa hak akses pangan tetap terjamin bagi masyarakat saat situasi darurat, sambil menghindari kebijakan subsidi yang bersifat permanen dan dapat memiliki konsekuensi fiskal yang besar pada masa depan.

Esensinya, setiap mekanisme subsidi semestinya dirancang agar bersifat kondisional dan tidak permanen, mengingat implikasinya terhadap beban fiskal pemerintah masa mendatang.

Selain itu, kebijakan subsidi sering kali diperpanjang tanpa evaluasi yang jelas, menciptakan celah bagi politisi populis untuk memanfaatkannya demi dukungan politik.

Ini sesuai dengan pandangan Frankel (2014), yang mengatakan bahwa subsidi pangan dan energi, meskipun tidak efisien secara ekonomi, sering populer secara politik. Terlebih, setelah berbagai subsidi diterapkan, menghapusnya menjadi tugas yang sangat sulit.

Untuk melanjutkan kebijakan subsidi, pemerintah semestinya perlu memberikan justifikasi dan perhitungan akurat kepada masyarakat guna memastikan efektivitas dan efisiensi kebijakan tersebut.

Langkah ini dapat mengurangi pemborosan anggaran, menghindari distorsi pasar, mengurangi hambatan persaingan, serta meningkatkan kepastian dalam kebijakan ekonomi.

Maka dari itu, penerapan klausul batas waktu dalam konteks ekonomi bisa jadi jalan keluar atas berbagai konsekuensi tersebut.

Saat ini, perhatian terhadap konsep klausul batas waktu kian meningkat, terutama sejak pandemi COVID-19 melanda. Berbagai negara sudah menerapkan prinsip ini, termasuk Uni Eropa, Korea Selatan, dan Brasil.

Bahkan, di Amerika Serikat, klausul batas waktu menjadi instrumen penting untuk mengatasi berbagai tantangan legislatif, menjaga keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, serta mengurangi pengaruh kelompok-kelompok kepentingan yang terlalu dominan, termasuk pengaruh kelompok populis.

Sementara itu, penerapan klausul batas waktu (sunset clause) di Indonesia masih dalam perdebatan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang merupakan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 menjadi titik awal perdebatan serius mengenai penggunaan klausul batas waktu di Indonesia.

Dalam putusan tersebut, beberapa hakim konstitusi mengajukan pandangan yang berbeda (dissenting opinion), dengan merujuk pada konsep klausul batas waktu (Sjarif, 2022).

Diskusi ini membuka peluang penerapannya dalam berbagai sektor penting sebagai bentuk regulasi kebijakan yang lebih terkendali dan mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh politisi populis.

Penggunaanya akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah, memungkinkan masyarakat untuk memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak kinerja yang konkret.

Politisi juga akan kesulitan memanipulasi isu-isu strategis saat pemilu, yang seringkali menjadi senjata politik populis, sehingga dapat mengurangi risiko penyalahgunaan kekuasaan politisi dalam membuat kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok mereka sendiri.

Meskipun tidak ada solusi instan untuk mengontrol populisme, langkah-langkah memperkuat perangkat komitmen, seperti penggunaan klausul batas waktu, menjadi langkah efektif untuk mengurangi risiko populisme dan dampak negatifnya pada perekonomian jangka panjang.

https://money.kompas.com/read/2023/10/09/085111126/janji-populis-dan-instabilitas-ekonomi-jangka-panjang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke