Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Green Inflation" dan Ketahanan Energi Indonesia

Sederhananya, green inflation terjadi karena dalam transisi energi, market demand terhadap renewable energi tumbuh lebih cepat, tapi market supply terbatas.

Dampaknya, harga energi terbarukan meningkat karena permintaan meningkat, sementara pasokan terbatas. Ini akan mengurangi daya saing energi terbarukan dibandingkan energi fosil yang lebih murah dan melimpah.

Selain itu, kondisi tersebut akan menghambat investasi dan pengembangan energi terbarukan.

Transisi energi membutuhkan pembiayaan yang mahal dan faktor produksi besar. Berdampak pada permintaan dan penawaran bahan baku dan penolong yang digunakan untuk menghasilkan energi terbarukan, seperti sawit, biomassa, logam dan komponen input lainnya.

Permintaan yang tinggi pada faktor input renewable energy dan ketersediaan yang terbatas berdampak pada gejolak harga. Hal ini dapat menimbulkan masalah lingkungan, sosial, dan ekonomi lainnya, seperti deforestasi, konflik lahan, fluktuasi harga, dan ketergantungan impor.

Dampak lainnya adalah, terjadi input losses pada industri lain seperti minyak konsumsi dan produk pangan konsumsi lainnya.

Dampaknya, harga-harga meningkat. Gejolak harga dalam ketidak seimbangan market demand dan market supply dalam transisi energi, menyebabkan terjadinya green inflation.

Demo “rompi Kuning (yellow vests)” di Perancis hanya salah satu contoh dari green inflation.

Dari laporan ETI (Effective Energy Transition) 2023, rangking Indonesia dalam transisi energi berada di posisi 55, masih tertinggal dari China di ranking 17, Malaysia di rangking ke 35, Vietnam 42, Thailand 54.

Indonesia skor SP (sustainable power): 67,3 dan skor TR (transition readiness): 38,6 artinya Indonesia memiliki kinerja sistem energi yang rendah dan kesiapan transisi energi yang kurang.

Skor Sustainable Power yang masih rendah, menggambarkan sistem energi Indonesia belum optimal memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakatnya.

Sementara transition readiness yang masih kurang siap, menggambarkan Indonesia belum maksimal mengadopsi teknologi, kebijakan, dan model bisnis yang mendukung transisi energi. Artinya, bila transisi energi tak dilakukan hati-hati, dapat menimbulkan green inflation.

Lantas apakah ekonomi sirkular menjadi salah satu alternatif dalam memitigasi green inflation, sebagaimana penjelasan salah satu cawapres?

Begini menurut saya. Ekonomi sirkular dapat menghemat biaya produksi dan konsumsi energi dengan menggunakan sumber daya existing, seperti sampah plastik, logam bekas, atau biomassa. Ini juga menekan biaya input dalam menghasilkan produk yang ramah lingkungan.

Selain itu, ekonomi sirkular juga dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku yang harganya fluktuatif dan rentan terhadap kebijakan lingkungan, seperti minyak, batu bara, atau gas.

Selain itu, meningkatkan nilai tambah dan kreativitas industri dengan menciptakan produk-produk baru yang ramah lingkungan dan memiliki pasar potensial, seperti tas dari kain perca, pupuk organik dari sampah organik, atau sepeda listrik dari rangka sepeda bekas.

PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) dapat dikategorikan sebagai bagian dari ekonomi sirkular, yaitu proses produksi yang tidak pernah berhenti dan berupaya menghasilkan zero waste.

Dengan mengolah sampah menjadi bahan bakar, PLTSa dapat menghemat penggunaan bahan bakar fosil, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan menciptakan nilai tambah bagi masyarakat.

Oleh karena risiko-risiko di balik kebijakan transisi energi itulah, dibutuhkan kebijakan ekuilibrium. Di satu sisi terus melakukan transisi energi, tapi di sisi lain, jangan sampai menimbulkan problem tidak seimbangnya market demand dan market supply.

Dari penjelasan ini, maka ekonomi sirkular menjadi salah satu variabel penting dalam memitigasi green inflation.

Dalam debat, serang menyerang pendapat dan argumen-argumen defence acap kali terjadi. Durasi waktu yang terbatas, membuat tidak semua substansi terungkap. Green inflation dan mitigasinya, memiliki spektrum wacana yang luas.

Ketahanan energi

Tentu saja renewable energi penting untuk ekonomi berkelanjutan. Namun boro-boro ke renewable energy, cadangan energi nasional saja masih menjadi soal besar.

Satu hal yang luput dari debat cawapres tersebut adalah soal “ketahanan energi.” Salah satu contohnya, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki cadangan BBM Nasional. Tentu saja BBM adalah salah satu faktor penting dalam ekonomi.

Menurut data dari Kementerian ESDM, konsumsi energi perkapita di Indonesia pada 2022 adalah sekitar 0,7 ton setara minyak (TOE/ton of oil equivalent).

Jika diasumsikan, bauran energi primer tidak berubah, maka konsumsi BBM perkapita adalah sekitar 0,22 TOE atau 1.600 liter.

Dengan demikian, untuk mencapai 1 persen pertumbuhan ekonomi di Indonesia, diperlukan konsumsi BBM perkapita sekitar 1.616 liter, dengan asumsi, elastisitas energi terhadap PDB adalah 1.

Dengan kata lain, jika PDB naik 1 persen, maka konsumsi energi juga naik 1 persen. Ini disebut sebagai elastisitas energi terhadap PDB.

Oleh sebab itu, fluktuasi harga akibat dampak fluktuasi harga global, berdampak pada inflasi di Indonesia. Agar ekonomi bisa tumbuh di atas 5 persen, maka tentu konsumsi BBM/bauran energi harus meningkat.

Namun sayangnya, belum adanya cadangan BBM nasional, membuat posisi Indonesia sangat rentan terhadap dinamika harga BBM eksternal global (Baca BH Migas: Cadangan BBM Nasional).

Bagaimana caranya ekonomi bisa tumbuh di atas 5 persen, sementara ketahanan energi RI seperti cadangan BBM bermasalah?

Transisi energi adalah keniscayaan. Namun ketahanan energi saat ini juga hal penting. Apalagi berdasarkan data Kementerian ESDM, cadangan minyak Indonesia, diperkirakan akan habis sembilan atau sepuluh tahun lagi. Artinya Indonesia sepenuhnya akan bergantung penuh pada minyak impor.

Mengacu pada negara-negara maju, cadangan BBM rata-rata nasional ditetapkan minimal 3 bulan atau 90 hari. Kebijakan ini ditempuh untuk mitigasi ketika terjadi bencana, tsunami dan fluktuasi harga, stok BBM nasional sebagai buffer stock.

Ihwal “ketahanan energi” ini yang luput dalam debat cawapres kedua. Dus, negara yang kuat selalu memiliki dua hal penting, yakni ketahanan energi dan pangan.

Transisi energi adalah agenda jangka panjang yang harus disiapkan infrastrukturnya dari sekarang secara optimal (sustainable power & transition readiness).

Namun di saat sama, penataan ketahanan energi, antara transisi menuju EBT dan kemampuan memenuhi kebutuhan energi seperti BBM fosil tak bisa diabaikan.

Kendati green inflation di Indonesia masih jauh, tapi tak bisa diabaikan. Oleh sebab itu, transisi energi dan ketahanan energi harus seimbang dan saling mendukung.

Transisi energi dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap harga barang dan daya beli masyarakat, serta memanfaatkan sumber energi fosil secara efisien dan bertanggung jawab.

Ketahanan energi perlu ditingkatkan dengan mengembangkan sumber energi terbarukan yang berkelanjutan dan mendorong inovasi teknologi hijau.

Oleh sebab itu, regulasi dan implementasi kebijakan terkait cadangan BBM nasional perlu dilakukan pemerintah, agar harga BBM domestik tidak terlampau rentan terhadap dinamika harga global. Sekaligus memitigasi tekanan terhadap APBN dari sisi jebolnya beban subsidi.

R&D di bidang energi perlu ditingkatkan pemerintah dan BUMN sektor energi, dalam rangka meningkatkan, eksplorasi sumber daya, potensi, cadangan terbukti untuk energi fosil dan energi baru terbarukan (EBT).

Dalam debat cawapres kedua, masalah ini cenderung dilupakan, karena perdebatan cenderung pada definisi dan terminologi teknis tentang materi dan tema.

https://money.kompas.com/read/2024/01/24/070000526/-green-inflation-dan-ketahanan-energi-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke