Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Meski Jadi Penopang Ekspor, Industri Sawit Tidak Muncul dalam Debat Cawapres

KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelenggarakan debat calon wakil presiden (cawapres) bertema “Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa” di Jakarta Convention Center (JCC), Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Sayangnya, debat tersebut tidak menyinggung masalah sawit di Indonesia. Padahal, industri sawit merupakan salah satu penopang perekonomian Indonesia. Industri ini menyumbang devisa ekspor senilai 39,07 miliar dollar AS atau setara Rp 600 triliun.

Selain itu, beberapa rencana terkait komoditas strategis itu telah mencuat dalam berbagai diskusi publik. Misalnya, pembentukan badan setingkat menteri yang khusus menangani sawit secara komprehensif dan lestari.

Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan, industri sawit membutuhkan kebijakan tentang model pengembangan kebun sawit yang komprehensif untuk mengatasi berbagai persoalan.

“Terdapat sekitar 20 juta jiwa yang terkait dengan sawit, baik pekerja langsung maupun tidak langsung, belum keluarganya,” kata Achmad Surambo dikutip dari pemberitaan Kompas.id, Rabu (24/1/2024).

Achmad menilai, kebijakan tentang sawit adalah hal esensial bagi Indonesia. Selain melibatkan banyak pihak, industri ini mempertemukan berbagai kepentingan, mulai dari ekonomi, lingkungan hidup, sosial, keamanan, hingga politik luar negeri. ”

“Tidak jarang ada kekerasan yang terjadi karena sawit,” ujar Achmad.

Sementara itu, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Nicky Fahrizal menilai bahwa debat keempat Pilpres 2024 masih didominasi oleh gimik atau sesuatu yang sengaja dibuat untuk menarik perhatian.

Hal tersebut membuat debat belum mengutamakan substansi. Akibatnya, sejumlah isu penting terkait ekonomi dan lingkungan hidup jauh dari pembahasan serius. Nicky pun menyayangkan terlewatnya topik-topik penting dalam debat tersebut.

”Perdebatan itu adu gagasan, bukan adu gimik,” kata Nicky.

Seperti diketahui, industri sawit menjadi sebagai salah satu motor perekonomian karena mampu menyerap 16,2 juta pekerja langsung dan tidak langsung. Setidaknya terdapat 48 juta orang yang menggantungkan nasibnya pada industri ini.

Dari sisi ketahanan energi, kebijakan 35 persen bauran biodiesel sawit terhadap bahan bakar fosil membuat pemerintah menghemat devisa 2,64 miliar dollar AS atau Rp 38 triliun.

Sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia dan menguasai 30 persen pasar minyak nabati internasional, industri sawit membutuhkan rencana kebijakan komprehensif dari ketiga pasangan calon presiden (capres) dan cawapres dalam Pemilu 2024.

Program calon terkait sawit

Meski tak dibahas pada debat yang diselenggarakan KPU, para pasangan capres dan cawapres sebenarnya memiliki konsep terkait perkebunan sawit. Oleh karena itu, dibutuhkan ruang diskusi alternatif untuk mengetahui program-program cawapres/cawapres secara komprehensif.

Salah satunya melalui acara Bincang Kompas ”Urun Rembuk Bersama Stakeholder Sawit Nasional” di Hotel Santika Slipi, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat.

Pada acara tersebut, para anggota dewan pakar tim sukses ketiga pasangan calon berdiskusi dengan pemangku kebijakan sawit di Indonesia.

Adapun juru bicara pasangan calon yang hadir pada acara ini adalah Tim Nasional Pemenangan (TPN) pasangan capres/cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Achmad Nur Hidayat, Tim Kampanye Nasional pasangan capres/cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabumi Raka, Panji Irawan, serta Tim Pemenangan Nasional pasangan capres/cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD Danang Girindrawardana.

Achmad Nur Hidayat yang akrab disapa Matnur mengatakan bahwa Anies-Muhaimin melihat sawit sebagai salah satu peluang menyejahterakan masyarakat.

Pasangan capres/cawapres nomor 1 melihat bahwa inkonsistensi regulasi, terutama terkait legalitas tanah, menjadi persoalan terbesar bagi 2,6 juta pengusaha kecil, 4,2 juta pekerja langsung, dan 12 juta pekerja tidak langsung.

”Salah satu agenda pertama pasangan capres/cawapres nomor 1 dalam membenahi carut marutnya industri sawit adalah menyelesaikan masalah legalitas tanah petani,” kata Matnur.

Butuh badan khusus

Selain legalitas tanah, Matnur menambahkan bahwa para petani sawit juga membutuhkan akses teknologi, peremajaan sawit, serta pendirian koperasi untuk pemberdayaan.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya diplomasi sawit di luar negeri. Inisiatif ini dilakukan agar industri sawit Indonesia bisa mendapatkan perlakuan yang proporsional.

Oleh karena itu, Matnur menilai pentingnya dibentuk badan setingkat kementerian yang khusus mengatur sawit dari hulu sampai hilir. Badan ini dibutuhkan untuk sinkronisasi berbagai kebijakan sehingga tidak tumpang tindih dan merugikan petani.

Usulan serupa juga disampaikan Panji Irawan. Panji memaparkan urgensi pembentukan Badan Sawit Nasional, seperti Malaysia Palm Oil Board (MPOB) di Malaysia. Ia menyebut lembaga ini sebagai Badan Sawit Indonesia.

Menurutnya, Badan Sawit Indonesia dapat menjadi lembaga yang memiliki otoritas penuh untuk menjembatani pemangku kepentingan dengan baik, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Melalui lembaga ini, berbagai peraturan yang tumpang tindih dalam menaungi industri sawit bisa diatasi.

Prabowo dan Gibran, lanjut Panji, memandang industri sawit sebagai tulang punggung perekonomian tidak hanya dalam konteks hari ini, tapi juga untuk masa depan. Menurutnya, Indonesia berpeluang menjadi raja energi hijau dunia dari sawit.

Selain legalitas tanah, Panji mengatakan bahwa pemerintah yang baru nantinya perlu menjamin ketersediaan pupuk, benih, dan pestisida. Oleh karena itu, pihaknya akan memberdayakan koperasi untuk menyalurkan pupuk ke petani.

”Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran juga telah memikirkan, bangun pabrik pupuk di kluster para petani. Dengan konsep ekonomi koperasi, mereka menjadi pemegang saham,” kata Panji.

Anggota Dewan Pakar TPN Ganjar-Mahfud, Danang Girindrawardana, juga menggarisbawahi persoalan lahan. Menurutnya, terdapat inkonsistensi aturan terkait hak guna usaha (HGU). Akibatnya, status lahan bisa berubah dari areal usaha pertanian menjadi kawasan hutan dan nonhutan di tengah masa berlakunya.

Permasalahan tersebut disebabkan karena terdapat tiga kementerian yang mengatur masalah lahan, yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

Danang mengatakan, ada beberapa target yang ditetapkan TPN untuk memajukan industri sawit, yakni meningkatkan produktivitas dengan peremajaan, meningkatkan sumber daya genetis, strategi kawasan khusus bioenergi, memastikan hilirisasi sawit, serta memastikan kepastian hukum.

“Untuk bisa mencapai target tersebut, dibutuhkan badan setingkat menteri yang mengurusi industri sawit secara khusus,” tuturnya. (EDNA CAROLINE PATTISINA)

https://money.kompas.com/read/2024/01/29/190630926/meski-jadi-penopang-ekspor-industri-sawit-tidak-muncul-dalam-debat-cawapres

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke