Di balik serunya berita tentang masuknya klan Soeryadjaya ke IFI, berembus beberapa selentingan miring. Seorang praktisi perbankan mempertanyakan status keluarga Soeryadjaya. “Apakah dulu mereka tidak masuk black list BI ketika menjalankan Bank Summa hingga pailit?” tanya dia.
Maklum, kasus Bank Summa dulu memang tidak main-main. Bank ini bangkrut antara lain karena kalah kliring akibat tidak sanggup mencairkan commercial paper, promes, dan surat utang lain yang dijamin Summa senilai Rp 70 miliar. Kasus ini hampir mirip dengan pengalaman Bank Century beberapa waktu lalu.
Saat itu Summa juga memiliki kredit macet dan utang, masing-masing senilai Rp 1,2 triliun dan Rp 500 miliar. Memang, pada akhirnya saat itu William melunasi semua kewajibannya dengan cara menjual kepemilikan sahamnya di PT Astra International Tbk. Tapi, kejadian di masa lalu itu tentu juga bukti bahwa keluarga Soeryadjaya pernah gagal mengelola sebuah bank.
Walaupun begitu, tampaknya BI tenang-tenang saja. “Sampai saat ini semua sesuai prinsip BI. Setahu saya, mereka tinggal penyelesaian teknis dan administrasi saja,” ujar Budi Armanto, Direktur Perizinan dan Informasi Perbankan (DPIP) BI.
Edward pun menegaskan bahwa ia menjalankan prosedur biasa, sama seperti dengan prosedur akuisisi pada umumnya. Artinya, tak ada persyaratan-persyaratan khusus yang diminta BI. Bila tak ada halangan, menurut Budi, proses akuisisi bisa selesai dalam sebulan ke depan. Yang pasti, kedua belah pihak, yakni keluarga Soeryadjaya dan Sabar Ganda Sitorus, harus mengikuti tes kelayakan atau fit & proper test dulu di DPIP BI.
Dalam fit & proper test itulah mereka akan ditanya perihal harga jual dan rencana membesarkan IFI pasca-akuisisi. “Hitung-hitungan dan kesepakatan itu antarmereka. Kami tidak ikut-ikutan menentukan harga,” tambah Budi.
Sementara itu, manajemen IFI sudah memiliki beberapa agenda pasca-akuisisi. Pertama, meningkatkan permodalan. Sesuai ketentuan Arsitektur Perbankan Indonesia (API), bank-bank harus memiliki modal minimum Rp 100 miliar per 2010. Sampai September 2008, posisi modal inti IFI baru Rp 84,22 miliar.
Rencana kedua yang juga harus segera mereka rampungkan adalah menyusutkan kembali angka NPL yang tinggi. Selain menagih nasabah, mereka juga harus siap sedia memakai dana pencadangan. “Kami juga akan tetap fokus di sektor UKM atau micro financing,” papar Agus. Ini salah satu strategi IFI dalam menghadapi likuiditas ketat tahun 2009.
Pengamat perbankan David Sumual menilai, masuknya Soeryadjaya ke Bank IFI baik-baik saja. “Selama mereka punya dana dan komitmen, mengapa tidak? Toh, sebelumnya mereka sudah memiliki pengalaman di bidang ini,” katanya. (Kontan)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.