Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarjo, dari "Cleaning Service" Jadi Juragan Ikan Bakar

Kompas.com - 21/05/2009, 11:38 WIB

KOMPAS.com — Bagi Sutarjo, pengusaha kedai Ikan Bakar Tarjo, pepatah tak kan lari gunung dikejar lebih cocok diplesetkan menjadi tak kan lari rezeki dikejar. Meski menjajal beragam pekerjaan, akhirnya dia berlabuh di bisnis warung ikan bakar. Sebuah sisi kehidupan yang pernah akrab dengannya di masa silam, sewaktu tinggal di Pacitan, Jawa Timur.

Orang yang biasa melintasi Jalan Arteri Permata Hijau, Jakarta Selatan, kemungkinan besar pernah melihat sebuah kedai ikan bakar penuh asap yang ramai oleh pembeli. Itulah kedai ikan bakar milik Sutarjo. Setiap hari, ratusan orang menyantap aneka ikan bakar yang lokasinya tak jauh dari rel kereta api jurusan Serpong dan Rangkas Bitung itu.

Tak ada kesan mewah pada warung ikan bakar Tarjo ini. Tak heran, pembeli yang bertandang di sana cukup beragam, mulai kalangan bermobil sampai pejalan kaki. Saking larisnya, setiap hari Sutarjo mesti menyiapkan 2 sampai 4 kuintal ikan beragam jenis yang ia kulak di Muara Angke.

Bahkan, saat hari libur, Sutarjo harus menyediakan 5 kuintal ikan. Bisa dibayangkan berapa besar omzet yang dia terima mengingat harga seafood di Jakarta terbilang lumayan.

Kesuksesan yang kini menempel pada sosok Sutarjo tidak runtuh dari langit. Butuh waktu bertahun-tahun baginya sebelum bisa menikmati keberhasilan ini. Sejak kecil, Sutarjo sudah akrab dengan kerja keras. Keindahan kampung nelayan kelahirannya di Tulakan yang asri dengan bukit-bukit kapur mengitari pantai jernih tak memberikan banyak rezeki buat Sutarjo dan keluarganya.

Tempat tinggal yang dekat lautan itu memaksa Sutarjo akrab dengan dunia ikan. Lelaki berusia 41 tahun yang hanya berijazah SMP ini sangat akrab dengan beragam jenis ikan. “Selama di Pacitan, saya juga sering melaut,” kenang dia.

Sutarjo juga memanfaatkan secuil ladang milik orangtuanya untuk berkebun. “Saya juga menanam pohon kelapa. Kini hasilnya sudah bisa dinikmati orang tua di kampung,” tutur pria berkulit sawo matang ini.

Namun, ketenangan hidup di desa tak memuaskan dahaga Sutarjo remaja akan berbagai pengalaman. Alhasil, pada 1986, anak kelima dari tujuh bersaudara ini nekat merantau ke Jakarta. Bermodalkan Rp 15.000, Sutarjo tiba di Jakarta tanpa tahu mau bekerja apa. Hingga suatu ketika, seseorang menawarinya bekerja sebagai cleaning service. Namun, Sutarjo muda tak betah bekerja di bidang itu. Baru empat bulan, dia sudah mengundurkan diri.

Kemudian, Sutarjo mencoba pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Sunter, Jakarta Utara. Namun, setelah lima bulan bertahan dan bosan, ia balik lagi menjadi cleaning service di sebuah perusahaan hingga akhirnya berhenti lagi.

Pekerjaan sebagai kuli bangunan juga pernah ia lakoni meski tak punya bekal kemampuan soal bangunan. “Per hari saya digaji Rp 2.500. Santapan sebatang singkong dan segelas bajigur saya bagi dua dengan kakak,” tutur Sutarjo.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com