Bagi Hengky, kakao adalah pintu masuk mengatasi ketertinggalan NTT. Namun, pengembangannya menuntut perubahan kebijakan terkait petugas pendamping. Mereka harus diberi honor pantas, seimbang dengan tugasnya memperbaiki perekonomian yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Para pendamping itu, sarjana pertanian maupun diploma, hanya mendapat honor maksimal Rp 1 juta per bulan. Standar honor itu tak mendorong mereka betah di desa. ”Mengubah hidup orang desa agar lebih baik ekonominya hanya mungkin kalau mereka didampingi orang-orang yang pintar,” kata Hengky.
Hal itu dimungkinkan apabila standar honor bagi sarjana pertanian sudah memadai, tak seperti umumnya yang terjadi kini. ”Seharusnya sarjana pertanian diberi honor yang memadai, setidaknya tak jauh berbeda dari dokter yang bertugas di desa. Bagaimanapun kesehatan masyarakat desa sulit terjaga apabila warganya tetap miskin,” katanya.
Indonesia adalah negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia, dengan produksi sekitar 400.000 ton per tahun, setelah Pantai Gading dan Ghana. Namun faktanya, industri pengolahan kakao di Indonesia tetap dilanda kekurangan bahan baku berupa biji kakao terfermentasi, hingga mesti mengimpor sekitar 30.000 ton per tahun.
Padahal, proses fermentasi bukan pekerjaan sulit. Sumber penyebabnya, petani dibiarkan bergelut sendiri tanpa pendamping yang memadai.