Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengawasi "Ekonomi Hijau"

Kompas.com - 19/06/2012, 02:52 WIB

Belum genap satu generasi kemudian, impian itu—lebih layak disebut mutasi hijau daripada revolusi hijau—mengerut menjadi target swasembada beras dan hanya bertahan seumur jagung. Impor beras bahkan meningkat sejak dekade pertama milenia kedua. Hal itu membuat petani kian terpuruk.

Tejo Wahyu Jatmiko dari Aliansi Desa Sejahtera mengingatkan, slogan-slogan pro-growth, pro-poor, pro-job, dan pro-environment, yang diyakini ideal bagi pengembangan ekonomi, sebenarnya saling bertabrakan dan berpotensi meminggirkan yang lemah dan dilemahkan.

Empat syarat

Ekonomi hijau atau solusi apa pun, menurut Siti Maimunah dari Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim, harus memenuhi empat syarat yang saling berkelindan, yakni keamanan manusia, memperhitungkan utang ekologi, hak atas tanah, serta pola produksi dan konsumsi.

Masalah besarnya, menurut Noer Fauzi Rahman dari Sayogyo Institute, adalah perubahan tata guna lahan yang drastis akibat pemberian konsesi kehutanan, perkebunan, pertambangan untuk perusahaan raksasa.

”Ekonomi hijau hanya bisa dirintis kalau rezim konsesi direformasi, termasuk pembatasan penguasaan dan pengusahaan tanah oleh perusahaan raksasa,” ujar Noer Fauzi Rahman dari Sayogyo Institute, ”Juga reforma agraria yang memastikan penguasaan tanah kesatuan-kesatuan adat dan petani kecil serta memulihkan layanan alam yang rusak, memberdayakannya secara politik-ekonomi.”

Noer Fauzi menemukan satu perusahaan raksasa mendapatkan konsesi hutan tanaman industri seluas 169.000-an hektar di Merauke untuk produksi wood pallet dan wood chips. Hutan adat dalam ekosistem dataran rendah dimasukkan ke dalam konsesi itu. ”Ini adalah contoh deforestasi yang vulgar,” kata Noer Fauzi.

Dia seperti hendak menabrakkan kenyataan ini dengan hiruk-pikuk ”ekonomi hijau”, yang menjadi primadona perundingan Konferensi PBB mengenai Pembangunan Berkelanjutan (Rio+20) di Brasil, 20-22 Juni 2012.

(MARIA HARTININGSIH/BRIGITTA ISWORO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com