JAKARTA, KOMPAS.com — Pada masa lalu pemerintah mengendalikan stok beberapa bahan kebutuhan pokok. Namun, sebagai bagian dari program IMF guna mengatasi krisis ekonomi di Indonesia, pemerintah diminta tidak lagi memegang stok selain beras. Kini stok dikendalikan segelintir orang. Ternyata, harganya malah sering melonjak tiba-tiba.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika dan Direktur Center for Agricultural Policy Studies Tito Pranolo, masing-masing dihubungi di Malang dan Jakarta, Senin (16/7/2012), mengatakan, problem klise berupa kenaikan harga bahan kebutuhan pokok menjelang Lebaran harus segera ditangani karena sudah bertahun-tahun tak pernah terselesaikan.
”Sumber masalahnya ada tiga, yaitu ketergantungan impor, konsentrasi distribusi, dan keterbatasan peran Perum Bulog,” kata Erani.
Hampir semua komoditas penting pangan nasional Indonesia bergantung pada impor dalam jumlah yang besar, seperti jagung, kedelai, daging, dan beras. Implikasinya, ketika terjadi kenaikan harga internasional atau tiba-tiba permintaan pasar domestik naik, harga di pasar akan cepat berubah naik.
”Ini hanya akan bisa diatasi apabila produksi ditingkatkan atau manajemen stoknya bagus. Celakanya, keduanya tidak dipunyai dan dilakukan pemerintah,” lanjutnya.
Mengenai distribusi, hal ini juga bermasalah karena beberapa komoditas pangan dikuasai oleh segelintir pelaku. Ini terjadi dalam distribusi gula, jagung, kedelai, daging, dan lain-lain. Penguasaan komoditas itu biasanya terkait dengan hak impor yang dimiliki beberapa pelaku tersebut. Konsentrasi penguasaan barang oleh beberapa distributor menyebabkan kontrol pasokan dan harga sepenuhnya di tangan mereka.
”Bulog punya peran yang sebenarnya strategis untuk mengontrol pasokan dan harga. Sayangnya, kewenangannya dipereteli. Bulog tak lagi mengontrol gula, kedelai, jagung, dan lain-lain, tetapi cuma beras. Itu pun dengan anggaran dan cadangan yang terbatas. Mestinya, Bulog masuk lagi ke bahan pokok dan mempunyai stok setara minimal 10 persen dari kebutuhan nasional,” ujarnya.
Tito mengatakan, dulu Perum Bulog mengendalikan secara permanen sejumlah komoditas, seperti beras, gula, kedelai, dan jagung. Lembaga ini juga mengendalikan sejumlah komoditas secara temporer, terutama saat Lebaran, seperti minyak goreng dan daging sapi.
”Intervensi dan penggunaan lembaga penyangga sebagai instrumennya untuk stabilisasi sangat tergantung dari pemerintah. Kebijakan harga dilepas ke pasar atau harga distabilkan tergantung dari pemerintah. Saat pemerintah melepas ke pasar, asumsinya pasar itu sempurna, padahal apakah demikian?” kata Tito.
Ia menambahkan, ketika pasar tidak sempurna, intervensi lembaga penyangga stok harus dilakukan. Perang dilakukan di pasar atas nama pemerintah.
”Dalam hal ini, pemerintah bisa membantu melalui biaya penyimpanan dan kredit bea masuk bagi sejumlah komoditas sehingga membuat lembaga penyangga tidak merugi,” ujar Tito.
Ia juga sepakat, setelah monopoli pemerintah dilepas menyusul penandatanganan surat kesanggupan berkehendak (LOI) Dana Moneter Internasional (IMF) tahun 1998, yang terjadi adalah stok dikuasai oleh segelintir orang.
”Setelah monopoli Bulog dicabut lebih dari 10 tahun lalu, mari kita lihat komoditas itu apakah kompetitif di pasar. Kalau kebijakan itu betul, komoditas kita jadi kompetitif. Yang terjadi? Segelintir orang yang menguasai stok,” ujar Tito.
Tak perlu panik
Pemerintah menegaskan, stok bahan pokok selama puasa mencukupi. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu panik dengan kelangkaan bahan pokok. Kenaikan harga bahan pokok yang terjadi di pasar lebih karena lonjakan permintaan dan gangguan distribusi.