Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gonjang-ganjing Republik Kedelai

Kompas.com - 07/08/2012, 02:23 WIB

Meski sudah terjadi sejak 1992, fenomena dekedelaisasi meningkat drastis setelah Indonesia jadi pasien IMF pada 1997-1998. Saat itu, Indonesia harus meliberalisasi pasar pangan, termasuk kedelai. Tak hanya subsidi, benteng pertahanan dari serbuan impor pun dilucuti. Saat yang sama, perhatian pada kedelai mengendur. Fokus kebijakan saat itu—dan berlanjut hingga kini—semua bias pada beras.

Hasil-hasil riset tak memadai. Jika pun ada, tidak serta-merta diadopsi petani. Di sisi lain, produktivitas negara produsen utama kedelai terus membaik. Saat ini, produktivitas kedelai Indonesia kurang dari setengah produktivitas AS, Kanada, Brasil, Argentina, dan Italia.

Penurunan harga relatif terjadi karena tidak ada kebijakan dukungan harga pada kedelai, seperti halnya pada beras atau gula. Pada saat yang sama, produk impor lebih murah. Efek spiral merosotnya daya saing antarkomoditas dan daya saing internasional saling menguatkan, serta ini membuat kedelai masuk lingkaran setan dekedelaisasi.

Bersinergi dengan proteksi (tarif dan nontarif) yang minimal membuat ketergantungan Indonesia pada impor kedelai kian sempurna. Jika pada 1990-an kita swasembada, kini produksi domestik hanya mampu memasok 30 persen kebutuhan.

Serbuan impor kedelai, yang mayoritas transgenik, didorong oleh inkonsistensi kebijakan kedelai transgenik dan beleid ofensif AS lewat subsidi (langsung dan ekspor). Produksi kedelai transgenik dilarang, di sisi lain impor yang 90 persen dari AS nyaris tak ada pembatasan. Beleid ofensif AS itu membuat harga kedelai impor amat murah.

Inilah yang sering jadi alasan banyak pihak melegalisasi impor ketimbang membeli kedelai petani domestik. Argumen di balik kebijakan ini adalah soal daya saing. Argumen ini ceroboh dan sesat. Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa jadi ukuran daya saing karena harga itu terdistorsi oleh subsidi. Di AS, kedelai adalah 1 dari 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi.

Menyimak problem struktural di atas, ke depan dibutuhkan perubahan kebijakan sistematis. Paling mendasar adalah menghentikan liberalisasi pasar kedelai karena ini jadi malapetaka bagi kemandirian dan kedaulatan pangan. Proteksi bisa dilakukan dengan mengombinasikan tarif dan nontarif, termasuk pengaturan ketat impor kedelai transgenik.

Kebijakan ini harus disinergikan dengan beleid harga yang memungkinkan petani kembali mau menanam kedelai. Pada saat yang sama, perluasan lahan kedelai tak bisa ditawar-tawar. Terakhir, tidak ada salahnya menjadikannya bagian dari kebijakan stabilisasi dengan beleid stok.

Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI); Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cara Ganti PIN ATM BCA, Mudah dan Praktis

Cara Ganti PIN ATM BCA, Mudah dan Praktis

Spend Smart
Investor Terus Bertambah, Bappebti Bareng Industri Kawal Ekosistem Aset Kripto

Investor Terus Bertambah, Bappebti Bareng Industri Kawal Ekosistem Aset Kripto

Whats New
Catat, Ini Rincian Batas Minimal Nilai UTBK untuk Daftar PKN STAN 2024

Catat, Ini Rincian Batas Minimal Nilai UTBK untuk Daftar PKN STAN 2024

Whats New
Pemerintah Temukan SPBE Kurang Isi Tabung Elpiji 3 Kg, Ini Tanggapan Pertamina

Pemerintah Temukan SPBE Kurang Isi Tabung Elpiji 3 Kg, Ini Tanggapan Pertamina

Whats New
Pemerintah Bayar Kompensasi Listrik ke PLN Rp 17,8 Triliun

Pemerintah Bayar Kompensasi Listrik ke PLN Rp 17,8 Triliun

Whats New
Lowongan Kerja Adaro Energy untuk Lulusan S1, Simak Persyaratannya

Lowongan Kerja Adaro Energy untuk Lulusan S1, Simak Persyaratannya

Work Smart
Allianz Utama Kumpulkan Premi Bruto Rp 803,52 Miliar Sepanjang 2023

Allianz Utama Kumpulkan Premi Bruto Rp 803,52 Miliar Sepanjang 2023

Whats New
Hampir 70 Persen Gen Z Memilih Jadi Pekerja Lepas, Apa Alasannya?

Hampir 70 Persen Gen Z Memilih Jadi Pekerja Lepas, Apa Alasannya?

Whats New
Tingkatkan Peluang Ekspor UKM, Enablr.ID Jadi Mitra Alibaba.com

Tingkatkan Peluang Ekspor UKM, Enablr.ID Jadi Mitra Alibaba.com

Whats New
Praktik Curang Kurangi Isi Elpiji 3 Kg Rugikan Masyarakat Rp 18,7 Miliar Per Tahun

Praktik Curang Kurangi Isi Elpiji 3 Kg Rugikan Masyarakat Rp 18,7 Miliar Per Tahun

Whats New
Pertagas Gelar Pelatihan untuk Dorong Peningkatan Ekonomi Masyarakat Penyangga IKN

Pertagas Gelar Pelatihan untuk Dorong Peningkatan Ekonomi Masyarakat Penyangga IKN

Whats New
PLN EPI dan Universitas Telkom Kembangkan Teknologi 'Blockchain'

PLN EPI dan Universitas Telkom Kembangkan Teknologi "Blockchain"

Whats New
Mendag Ungkap Temuan 11 Pangkalan Gas Kurangi Isi Elpiji 3 Kg di Jakarta hingga Cimahi

Mendag Ungkap Temuan 11 Pangkalan Gas Kurangi Isi Elpiji 3 Kg di Jakarta hingga Cimahi

Whats New
Dorong UMKM Naik Kelas, Kementerian BUMN Gelar Festival Jelajah Kuliner Nusantara

Dorong UMKM Naik Kelas, Kementerian BUMN Gelar Festival Jelajah Kuliner Nusantara

Whats New
Dorong Implementasi Energi Berkelanjutan, ITDC Nusantara Utilitas Gandeng Jasa Tirta Energi

Dorong Implementasi Energi Berkelanjutan, ITDC Nusantara Utilitas Gandeng Jasa Tirta Energi

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com