Enam ruas jalan tol itu adalah Semanan-Sunter (17,88 km), Sunter-Bekasi Raya (11 km), Duri Pulo-Kampung Melayu (11,38 km), Kemayoran-Kampung Melayu (9,65 km), Ulujami-Tanah Abang (8,27 km), dan Pasar Minggu-Casablanca (9,56 km).
Wakil Ketua DPRD DKI Triwisaksana, Jumat (11/1), menegaskan, persetujuan Jokowi atas pembangunan enam ruas jalan tol itu memang tidak melanggar aturan karena sudah ada dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
”Namun, sebaiknya gubernur mengkaji lebih dalam dampak ikutan pembangunan jalan tol supaya tidak timbul masalah baru,” katanya.
Selamat Nurdin, Ketua Komisi B DPRD DKI bidang transportasi, juga mengingatkan belum ada kesepakatan letak pintu masuk dan keluar tol. ”Kalau sembarangan menaruh letak pintu tol, akibatnya kemacetan baru,” ujarnya.
Dia juga mengingatkan, DKI hanya memiliki kewenangan sangat kecil untuk menentukan kebijakan, termasuk soal tarif.
”Pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota ini dipelopori Pemprov DKI semasa Gubernur Sutiyoso. Waktu itu Pemprov DKI diwakili PT Jakarta Propertindo. Seiring dinamikanya, dengan masuknya swasta dan BUMN, bagian saham Pemprov DKI tinggal 7 persen atau minoritas,” tutur Selamat.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Azas Tigor Nainggolan juga menyayangkan keputusan Jokowi yang menyetujui rencana Kementerian Pekerjaan Umum (PU). DTKJ berencana melayangkan surat rekomendasi agar keputusan Jokowi dibatalkan.
”Soal enam ruas tol yang bisa digunakan untuk jalur angkutan massal itu sudah sejak awal perencanaan dibicarakan dan diyakini tak akan menyelesaikan masalah lalu lintas Jakarta. Tol hanya solusi hilir masalah macet. Akar masalah belum tersentuh, bagaimana membatasi penggunaan kendaraan pribadi dan menyediakan angkutan massal memadai,” kata Tigor.