Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bermain Api dengan BBM

Kompas.com - 16/02/2013, 02:25 WIB

Denni Puspa Purbasari

Meski opini publik telah bergulir cukup deras, pemerintah tampaknya masih enggan menaikkan harga BBM bersubsidi. Keengganan ini boleh jadi karena trauma masa lalu ketika rencana yang sama gagal digolkan di Sidang Paripurna DPR.

Namun, berbeda dengan tahun lalu, di mana pemerintah mengikatkan dirinya untuk tidak mengubah harga BBM dalam APBN 2012, pada APBN 2013 pemerintah dapat menaikkan harga BBM kapan dan berapa pun.

Pemerintah (dan partai-partai koalisi) barangkali khawatir kehilangan pemilih karena mendekati Pemilu 2014. Pilihan ini memang rasional secara politis dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka tak terlalu lama pilihan membiarkan harga BBM seperti sekarang sulit dipertahankan.

Alasannya sederhana: menunda kenaikan BBM sangat mahal dan berisiko bagi perekonomian secara keseluruhan. Ibarat pepatah, pemerintah sedang bermain api dengan BBM, yang berpotensi menghanguskan perekonomian nasional.

Semua berawal dari premium dan solar yang dipatok Rp 4.500 per liter sejak 2009. Ini berarti, secara riil harga keduanya turun karena selama 2009-2012 inflasi telah mencapai 19 persen.

Akibat harga BBM yang murah meriah di satu sisi, dan pertumbuhan kelas menengah di sisi lain, konsumsi BBM melonjak. Statistik mencatat realisasi penjualan BBM bersubsidi meningkat dari 37 juta kiloliter pada 2009 menjadi 45 juta kiloliter pada 2012, atau naik 21,6 persen. Pembiaran ini jelas tak masuk akal jika dihadapkan pada fakta bahwa minyak adalah energi tak terbarukan, dan ketersediaannya dari sumber domestik kian berkurang.

Patut disesalkan bahwa angka- angka subsidi BBM dalam dokumen APBN ternyata hanyalah angka-angka rencana belaka yang mudah untuk direvisi atau dilanggar. Volume subsidi BBM, misalnya, naik dari 40 juta kiloliter pada APBN(P) 2012 menjadi 45 juta kiloliter dalam realisasinya. Bila dilihat dari nilai lebih buruk lagi: dari Rp 123 triliun dalam APBN 2012, jadi Rp 137,4 triliun dalam APBN-P, dan realisasinya membengkak menjadi Rp 211,9 triliun atau 72 persen lebih tinggi dari APBN! Ini merefleksikan buruknya perencanaan, atau tidak realistisnya perencanaan anggaran, atau tidak efektifnya kebijakan penopang yang dilakukan.

Defisit ganda

Lebih memprihatinkan adalah kenaikan konsumsi BBM ini mendorong tingginya permintaan impor minyak. Selama periode Januari-November 2012 hasil ekspor minyak dan gas kita hangus begitu saja, bahkan tidak cukup untuk membayar impor minyak. Ironisnya, impor minyak ini sebagian besar berwujud hasil minyak, bukan minyak mentah yang kita kilang sendiri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com