Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sertifikasi Halal, dari Kewenangan, Uang, hingga Akhirat...

Kompas.com - 27/02/2014, 11:07 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Sebelumnya, pemerintah membentuk lembaga sertifikasi untuk memenuhi ketentuan internasional yang mengharuskan produk kayu dan turunannya tidak menggunakan bahan dari hasil pembalakan liar.

Namun, karena sertifikasi itu dibuat oleh pemerintah, sampai hari ini produk kayu dan turunannya dari Indonesia masih sulit menembus pasar negara maju. "Nyaris tidak bisa sama sekali," sebut Dradjad.

Kondisi di sektor kayu inilah yang mendorong Dradjad merintis lembaga sertifikasi dengan melibatkan para pihak terkait laiknya lembaga sertifikasi yang menerbitkan ISO. Itu pun, kata dia, yang dibutuhkan tetap saja pengakuan sertifikasi dari negara konsumen. Karena itu, payung lembaga yang lebih luas diperlukan.

Saat ini ada dua lembaga sertifikasi internasional di bidang perkayuan. Satu lembaga berafilisasi dengan organisasi Greenpeace, dan satu lembaga lain bermula dari Eropa tetapi kemudian melebarkan sayap mendunia, Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC).

"Sertifikasi itu bisnis besar, terkait pula dengan kewenangan. Orang akan berebut, termasuk pemerintah, pasti berupaya mendapatkan kewenangan," ujar Dradjad.

Lagi-lagi belajar dari ISO, semula negara-negara maju enggan mengakui ISO sebagai standar kualitas produk. Namun, ketika industri dan pihak terkait bersikukuh bersama-sama menggunakan ISO, barulah negara-negara itu "tunduk" mengacu pada ISO.

Akhirat

Pada akhirnya, apa pun lembaga sertifikasi dan transparansi yang diberlakukan, Dradjad mengatakan poin terpenting adalah para pelaku dan pelaksana. "Kalaupun kandungan produk dipastikan murni halal, tapi ada sogokan untuk mendapatkan sertifikasinya, tetap saja kehalalan produk itu cacat," kata dia.

Terlebih lagi, ujar Dradjad, pemeriksaan ke lokasi untuk memantau proses produksi produk bisa saja menghasilkan data yang "bersih", tetapi tak ada jaminan apakah di luar waktu pemeriksaan proses tersebut tetap sama bersihnya. Di Eropa yang relatif jauh lebih maju dari Indonesia saja kebobolan, kata dia, soal pemasaran daging kuda yang diklaim sebagai daging sapi.

"Ini jumlah berton-ton, bukan diselipkan satu dua kilogram," kata Dradjad. Poinnya, ini soal orang-orang yang terlibat. "Apa pun sistemnya, kalau orangnya suka terima suap, akan tetap bobol," tegas Dradjad.

Ibaratnya dalam hukum agama Islam, orang yang tidak tahu tidak akan dipersalahkan bila mengonsumsi barang tak halal. Namun, bila ada orang yang tahu tapi pura-pura tak tahu ada kandungan tak halal, apalagi karena menerima sogokan dan membiarkan produk itu dikonsumsi oleh orang yang tak tahu kandungannya, menurut Dradjad urusannya akan jadi dunia-akhirat.

Sertifikasi, sekali lagi memang tak sesederhana pemberian stempel maupun sertifikat. Pada kasus kehalalan produk, tidak setiap produk akhir tanpa kandungan produk non-halal maka dinyatakan halal. Tidak sedikit produk tanpa kandungan non-halal proses produksinya melibatkan penggunaan zat non-halal.

"Di luar negeri dan perkayuan sudah diterapkan sistem CoC, Chain of Custody," kata Dradjad. Bila produk akhir bisa ditelisik lewat pengujian kimia untuk menentukan kandungan zat-nya, maka CoC dipakai untuk menelusuri kemungkinan keterlibatan zat non-halal dalam proses produksi.

Misalnya, sebuah perusahaan menghasilkan dua produk, dengan satu produk dijual ke pasar konsumen produk halal dan produk lain dijual ke pasar bebas. Barang belanjaan dan peralatan produksi perusahaan harus sepenuhnya bebas dari zat non-halal.

"Bila tidak, perusahaan itu harus dipecah dua. Ini untuk memastikan standar kandungan dan proses halal terpenuhi. ini sudah jalan sistem CoC di praktik internasional." Kehalalan produk memang bukan persoalan sederhana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com