Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PPATK Keberatan Koruptor Diberi Pengampunan Pajak

Kompas.com - 04/06/2015, 08:46 WIB

Sebagai negara modern yang terikat dengan perjanjian antar negera, negara-negara yang menjadi surga pencucian uang seperti Singapura dan Hongkong dan lain-lain selama ini masih mau bekerjasama. Singapura misalnya mau bekerjasama karena sebagai tetangga.

Umumnya mereka juga tidak mau menyimpan dana yang sudah dikategorikan red notice oleh interpol. Australia pernah meminta imbalan atas dana yang akan dikembalikan sebesar 25  persen, namun kita tawar jadi 18 persen.

Sedangkan PNG, saat ini masih dalam proses untuk mengejar dana Djoko S Tjandra. Kini Djoko S Tjandra ingin menjadi warga negara PNG, tapi kita keberatan. Ini hanya contoh bagaimana tim ini bekerja dan negara lain mau bekerjasama.

Selain itu, masih banyak cara lain yang bisa ditempuh. Cara ini mesti dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Pertama, membangun infrastruktur hukum yang jelas. Harus ada kepastian hukum bagi para pebisnis. Kedua, memiliki kebijakan yang stabil. Ketiga, memiliki stabilitas politik. Ini semua akan memunculkan harapan bagi investor karena Indonesia dinilai ramah kepada investasi.

Di samping itu sumber-sumber penerimaan di dalam negeri juga belum tergali. Misalnya pajak terhadap laba BUMN dan perusahaan swasta dan pajak atas pengelolaan devisa di dalam negeri.

Lebih dari itu semua, kebijakan pengampunan pajak ini ditakutkan menimbulkan moral hazard. Orang akan berpikir, sekarang boleh melakukan korupsi, toh nanti akan diampuni asalkan membawa dananya balik. Ini akan menjadi preseden buruk bagi pengusaha maupun masyarakat secara umum. Apalagi saat ini Indonesia masuk dalam 10 besar negara yang menjadi tempat bagi uang-uang ilegal beralih rupa.

Sebuah negara dengan uang-uang ilegal yang besar itu menghancurkan ekonomi. Misalnya seorang pengusaha beneran membangun hotel. Dia meminjam dari bank dengan bunga sekian persen sesuai pasar. Tentu saja tarif hotelnya akan disesuaikan agar bisa mengembalikan modal dari bank.

Katakanlah tarifnya menjadi Rp 700.000 hingga Rp 1 juta per malam. Tapi di sebelah hotel itu, ada hotel lain yang dibangun dengan dana hasil kejahatan. Hotel itu hanya sebuah tempat pencucian uang, sehingga dia akan menentukan tarif seenaknya.

Tentu saja hotel milik pengusaha beneran akan kalah dan mati karena tidak bisa berkompetisi. Praktik seperti ini bisa terjadi di negara-negara yang masuk dalam jajaran 10 besar negara dengan dana illegal yang besar, termasuk Indonesia.

Uang panas hasil kejahatan akan mencari instrumen apa saja yang tersedia dan bisa dimasuki. Properti, tanah, emas, asuransi dan sebagainya. Semua dimasuki sehingga terjadi buble, harganya melambung di atas kewajaran. Ini pun sudah terjadi di Indonesia karena pemberantasan korupsi di Indonesia akhir-akhir ini sangat lamban. (Umar Idris)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com