Lantas, Kementerian Perhubungan menetapkan tarif batas bawah penerbangan. Alasannya, agar tak terjadi praktik banting harga atau predatory pricing. “Bukankah persoalan itu merupakan domain KPPU? Tugas utama Kementerian Perhubungan adalah menjamin keselamatan penerbangan dan menegur maskapai penerbangan yang lalai,” imbuh Faisal.
Kelima, keterbatasan peran KPPU dalam mengusut sebuah dugaan praktik kartel. Nawir Messi, anggota KPPU, mengatakan, landasan hukum di Indonesia tak memberi keleluasaan bagi KPPU lebih jauh. Misalnya, identifikasi indirect evidence alias bukti tak langsung.
Selama ini, KPPU hanya mengandalkan bukti-bukti langsung (direct evidence) atau bukti fisik. KPPU juga tak bisa menyadap atau menggeledah para terduga pelaku kartel. Padahal, mencari direct evidence itu sangat susah. “Logikanya, mana mungkin ada bukti langsung saat orang mau bersengkongkol mengatur harga?” cetus Messi.
Padahal, indikasi kartel sudah bisa terdeteksi melalui hal-hal tak langsung. Misalnya, sebut Messi, upaya-upaya persengkongkolan awal dengan maksud secara sengaja mempengaruhi harga dan keseimbangan pasar, sudah bisa dianggap kartel. “Inilah yang saya maksud dengan indirect evidence,” kata dia.
Messi berharap ada amandemen terhadap Undang-Undang (UU) Persaingan Usaha yang mampu meluaskan kewenangan KPPU ini.
Keenam, transparansi dan ketersediaan data. Ketersediaan data yang buruk dan masih tertutupnya pembagian kuota impor, menurut Messi, masih menjadi biang bibit-bibit praktik kartel dan mafia.
Bayangkan, menurut perkiraan pemerintah sendiri, di sektor bahan pangan saja, importir bisa meraup keuntungan antara Rp 13,5 triliun–Rp 15 triliun per tahun. Hasil tersebut diperoleh dari sekitar 15 persen nilai impor komoditas pangan yang tiap tahun diperkirakan sekitar Rp 90 triliun. Sebut saja kedelai, beras, gula, kedelai, jagung, hingga daging sapi.
Yang bikin sakit hati, perilaku para mafia ini bukan cuma menggemukkan perutnya sendiri. Namun, juga membuat rakyat banyak merana, termasuk mempengaruhi inflasi. Betapa tidak? Tengok saja harga-harga pangan belakangan ini.
Sebut saja harga beras, daging sapi, cabai, sampai daging ayam. Harga beras medium pernah menyentuh Rp 13.000 per kilogram (kg) dari rata-rata harga yang biasanya Rp 8.000 per kg. Padahal, harga gabah kering giling dari petani cuma Rp 3.500 per kg. Cabai rawit dari yang rata-rata Rp 30.000 per kg, melejit hingga menjadi Rp 70.000 per kg. Daging sapi malah gila-gilaan. Dari yang biasanya Rp 90.000 per kg menjadi Rp 130.000 per kg. Sementara daging ayam sudah bertengger di Rp 40.000 per kg dari rata-rata Rp 31.000 per kg.
Sebaliknya, harga tomat dan garam. Jika biasanya per kg tomat masih dihargai Rp 1.700 hingga Rp 2.500, akhir-akhir ini anjlok jadi Rp 500 – Rp 1.700 per kg saja. Sedang garam rakyat kualitas I yang seharusnya Rp 750 per kg, malah dihargai hanya Rp 400 – Rp 450 per kg.
Pada kasus cabai dan tomat, bisa saja anomali cuaca menjadi alasan. Maklum, stok cabai menipis akibat kemarau, sementara stok tomat melebihi permintaan. Ini hukum supply dan demand yang terjadi secara alamiah. Namun, yang bikin miris jika hukum supply dan demand itu dikendalikan oleh tangan-tangan batil yang sengaja membentuk harga demi keuntungan mereka sendiri.