Patokannya adalah apakah dengan pilihan itu ia bisa belajar lebih lanjut untuk mengisi ruang-ruang yang masih kosong dalam rencana belajar itu. Kalau sudah terisi makan rencana ini akan berubah menjadi sebuah portofolio.
Ketika menyusun CV orang juga sering terjebak untuk sekedar membuat daftar posisi yang pernah ia lalui. Padahal ia seharusnya menjelaskan portofolionya: apa pendidikan, skill, pengalaman yang dia miliki, dan peran apa yang bisa ia mainkan dalam sebuah organisasi.
Sebuah CV baru bisa menjadi sebuah dokumen portofolio kalau ia mempunya “tulang punggung” yang menghubungkan data dalam dukumen tersebut menjadi sebuah struktur yang menawarkan solusi bagi yang membutuhkan.
Tidak semua konten portofolio kita didapat dari pengalaman bekerja. Dalam banyak kasus kita harus rela berinvestasi untuk belajar ekstra tentang hal lain.
Dalam organisasi besar kita biasanya hanya punya ruang gerak yang sempit. Kecil kesempatan kita untuk belajar soal lain di luar tugas rutin kita. Maka diperlukan terobosan untuk bisa belajar.
Ada banyak sumber ilmu yang bisa dimanfaatkan. Mulai dari internet, buku, seminar, kursus singkat, sampai ke pendidikan formal. Pergaulan dengan kawan pun bisa menjadi sumber ilmu.
Intinya, jangan mau pergi pagi pulang petang sekedar mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan pada kita tanpa pernah tahu peta jalan yang akan kita lalui di masa depan. Tanpa peta itu kita hanya akan jadi pengembara di ruang kantor kita sendiri.