Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alois Wisnuhardana
Penulis

Penulis dan penyuka petualangan bersepeda. Memulai kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, tapi menyelesaikannya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pernah menjadi Pemimpin Redaksi pada Majalah IDEBISNIS, Apartment Guide, iDEA, Tabloid RUMAH, dan Tabloid PCplus.

Wirausaha Kuliner: Pengalaman Kedai Tjikini dan Organic Fried Chicken

Kompas.com - 17/06/2016, 08:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Maka, konsep “menu rumahan” itulah yang kemudian menjadi andalan utama kedai ini. 

“Saya ini juga penggemar gedung tua dan peminat dalam bidang interior. Semestinya sebuah kedai juga bisa menawarkan suasana yang menyenangkan tanpa harus mempunyai pretensi berlebihan. Yang ingin dibangun bukan sekadar warung kopi (coffee shop), tapi sebuah kedai, di mana ada makanan, minuman, dan obrolan; ada kehangatan dari yang datang dan berbincang di sana,” jelas mantan pemimpin redaksi sebuah majalah ini.

Menggabungkan cita-cita dan passion itu, mereka akhirnya menemukan sebuah tempat di Jalan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. Semula, tempat itu adalah restoran yang sudah mau tutup. Bentuknya adalah rumah tua yang dibangun sekitar tahun 1930-an.

Dehawe dan kawan-kawannya kemudian merenovasi, terutama pada bidang mekanikal dan elektrikalnya, lalu mengembalikan interior bangunan itu menjadi “lawasan”.  Ia angkut semua koleksi furnitur yang ia punya, mulai dari sofa, bufet, lemari, termasuk 40 kursi lawas unik yang ia beli di Jalan Kebahagiaan, Jakarta Pusat.

Tanggal 5 September 2011, resmilah kedai itu dibuka. Namanya pun diambil dari nama jalan di tempat itu yang diberi sentuhan “lawasan”. Maka, jadilah C menjadi Tj, dan di Jalan Cikini muncullah “Kedai Tjikini”.

Ia ingin menghidupkan kembali sepenggal ujung Jalan Cikini, yang ketika itu banyak rukonya tutup, banyak gedungnya berpenampilan gelap dan muram.

Tahun-tahun pertama adalah tahun tersulit. Kedai belum punya nama, apalagi pelanggan tetap. Biaya terus berjalan, waktu terus berputar. Ditambah lagi, para pemiliknya sebagian besar masih berbentuk “kecebong” atau makhluk amfibi, manusia yang hidup di dua dunia: dunia kerja dan dunia wirausaha. 

Bahkan tak cuma itu. Saking klasiknya penataan kedai itu, banyak yang mengira itu bukan kedai makan. Ada orang asing yang datang ke tempat itu dan menduga bahwa toko ini berjualan barang-barang dan furnitur antik.

Pada awalnya, sembari bekerja, sepulang dari kantor Dehawe masih ikut memasak di dapur, sementara manajemen keuangan dikelola oleh Enrico dan Heni. Itu berlangsung sejak kedai pertama kali buka sampai dengan ketika ia benar-benar punya waktu penuh untuk mengurus kedai.

“Ketika saya di-PHK, November 2014, saya berkonsentrasi penuh mengurusi kedai. Tidak ada cara lain selain terjun langsung. Dalam hal ini, saya menerapkan pengalaman dalam pekerjaan jurnalistik. Ketika kita ditugasi mengelola desk tertentu, kita harus mengenal beat itu, mengenal lapangan dan narasumber kunci,” akunya.

Maka, ia pun mencoba mengenal lapangan restoran/kedai dengan pertama-tama mengetahui bahan baku; artinya terjun ke pasar. Ia hafal di sudut mana, stok blewah di Pasar Kebayoran Lama disimpan; ikan pindang kembung medan di Pasar Senen, ikan bandeng besar di Pasar Petak Sembilan, kue-kue tradisional di Gang Banten, Pasar Mester Jatinegara, sayur sawi asin di Pasar Petojo, dan seterusnya.

“Saya keliling pasar. Dari sini juga ada ide-ide baru membuat menu. pada gilirannya, pada waktunya, kami juga berkeliling melihat para artisan dalam coffee roasting untuk mendapatkan kopi yang kami anggap paling sesuai untuk Kedai Tjikini,” imbuhnya.

Pengalamannya bekerja di bagian training dan SDM di kantor lamanya membuatnya percaya bahwa unsur utama dalam bisnisnya adalah SDM. Mereka harus mendapatkan pembekalan sebelum bekerja, memperoleh feedback untuk maju.

Di tahun kelimanya, karyawan Kedai Tjikini kini berjumlah 18 orang. Tak terbayangkan di kepala Dehawe bahwa suatu saat ia akan punya karyawan sebanyak itu. Kedai yang buka dari pukul 08.30 hingga 23.00 itu, kini sudah memiliki pelanggan tetap.

Seringkali juga tempat tersebut direservasi untuk acara-acara tertentu seperti lokakarya, seminar, gathering, media briefing, dan sebagainya.

“Dulu, pada umumnya yang datang adalah teman atau kenalan dekat kami. Tetapi lambat laun, yang datang lebih luas dari itu. Umumnya adalah para pekerja kantor, pekerja kreatif, pengajar, mahasiswa, keluarga. Rata-rata berusia dari 18 tahun sampai 45 tahun,” jelasnya.

Menu andalan Kedai Tjikini dan menjadi favorit pelanggan antara lain Lontong Cap Gomeh, Nasi Goreng Belacan, Pindang Iga, dan Nasi Lodeh. Menu lainnya yang tak kalah seru adalah Nasi Uduk, Gado-gado Siram, Nasi Rawon, Pindang Bandeng, dan Ikan Kembung Tauco.

Organic Fried Chicken: Alami Tanpa Obat Kimiawi

Redia Frisna Rista memiliki usaha ayam goreng ini gara-gara rasa jenuh dan rasa bersalah yang bersarang di hatinya. Jenuh dengan rutinitas pekerjaan di kantor, dan rasa bersalah terhadap suami dan anak-anaknya.

Selama 23 tahun, Redia berkarier hanya di satu kantor, yakni perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia. Ia adalah sedikit dari perempuan di perusahaan tersebut yang bertanggung jawab untuk melakukan lobi-lobi bisnis untuk perusahaan tambang emas dan tembaga asal AS itu.

Tak heran jika dalam sepekan ia lebih banyak berada di luar kota ketimbang di kantor apalagi di rumah. Berkeliling kota dari Medan, Palembang, Bandung, Jogja, Surakarta, Surabaya, Makassar, sampai dengan Ambon, adalah menu rutinnya.

Suaminya, Luqman Hakim, semula adalah manajer sebuah biro perjalanan wisata umroh dan haji. Tapi sang suami kemudian memutuskan untuk memulai berwirausaha. Mula-mula, ia mengembangkan budidaya ikan lele. Itu berlangsung di tahun 2009.

Bisnis ini tak bertahan lama, sekalipun lele yang dibudidaya suaminya sempat dipasok hingga ke restoran “Pecel Lele Lela”. “Di bisnis lele ini terlalu banyak mafianya. Sudah begitu, sistem pembayarannya seringkali tarsok tarsok (entar-entar besok-besok),” aku Redia.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com