Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang P Jatmiko
Editor

Penikmat isu-isu ekonomi

Indonesia Darurat Piknik

Kompas.com - 21/04/2017, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Perlu dicatat, jumlah itu hanya dihitung berdasarkan waktu kerja. Perjalanan untuk mencapai kantor belum masuk perhitungan. Padahal, bagi pekerja yang berada di kota-kota besar, perjalanan menuju ke kantor adalah perjuangan tersendiri.

Di Jakarta misalnya. Kemacetan dan desak-desakan di angkutan umum membuat seorang pekerja kantoran butuh waktu rata-rata sekitar 2 jam dari rumah menuju kantor. Sehingga, pergi-pulang butuh waktu 4 jam. Jika itu turut dihitung, waktu kerja orang Indonesia bisa mencapai 3.024 jam!

Jumlah waktu kerja ini jauh lebih lama ketimbang Meksiko yang selama ini dinobatkan sebagai negara dengan waktu kerja terpanjang di dunia yakni mencapai 2.246 jam dalam setahun.

Di China saja, rata-rata waktu kerja karyawan dalam setahun hanya antara 2.000 hingga 2.200 per tahun.

Jepang yang selama ini identik dengan penduduknya yang pekerja keras, hanya butuh waktu 1.719 jam untuk bekerja dalam setahun. Atau dalam sehari hanya perlu bekerja 6,8 jam.

Lamanya waktu kerja ini tentu akan berdampak pada psikologis para kelas menengah pekerja di Indonesia. Tak hanya produktivitas kerja, namun berbagai masalah sosial lainnya.

Mudah tersinggung, baperan, sensitif, gampang ribut di Facebook dan grup Whatsapp, sampai keluarga yang tidak harmonis, langsung ataupun tidak langsung, ada kaitannya dengan beban kerja yang dihadapi para kelas menengah ini.

Karena itu, mereka butuh santai, butuh liburan. Bagaimanapun, liburan bagi kelas menengah adalah tuntutan. Ya, tuntutan untuk melepaskan stres yang berpadu dengan upaya untuk menunjukkan status sosial.

Industri Hiburan

Tiap akhir pekan, tempat-tempat plesiran selalu dipadati pengunjung. Seperti di berbagai tempat wisata yang ada di Bogor, Bandung, Yogyakarta, Malang, dan kota-kota lainnya, pengunjung selalu berjubel.

Mau menuju ke lokasi wisata saja, jalanan sudah macet. Belum lagi saat ingin nyemplung di kolam renang rasanya susah sekali karena harus berhimpitan dengan pengunjung lain.

Kemudian, tiap kali ada lokasi wisata baru, langsung diserbu pengunjung. Pantai-pantai yang sebelumnya masih perawan, belakangan menjadi ramai karena masyarakat berbondong-bodong ingin bersantai. Hutan pinus yang asri, berubah menjadi pasar kaget menyusul banyaknya orang datang.

Tak dimungkiri, bertumbuhnya kelas menengah turut mendorong tingginya permintaan berwisata.

Hal itu setidaknya terlihat dari riset Global Industry Analysts Inc, yang menunjukkan industri taman hiburan di kawasan Asia Pasifik, Middle East dan Amerika Latin terus mencatatkan kenaikan bisnis.

Di Asia Pasifik, seperti di Indonesia, rata-rata pertumbuhan tahunan industri tersebut di kawasan ini mencapai 12,2 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com