Tak mau kalah, dengan otot sebesar 14 triliun dollar (GDP China saat ini) dan spirit "Made in China 2025 Innitiative", Presiden Xi Jinping menjawab tantangan Trump dengan tit-for-tat, reciprocal, menjiplak kebijakan Trump, diarahkan ke barang-barang Amerika yang diekspor masuk ke China.
Trump bersikukuh dengan "America First!" di saat pemerintah dan swasta China sedang gencar-gencarnya mengampanyekan "Are You China-Ready?" untuk membuka ekonominya bagi investor luar.
Amerika mungkin "China-ready", tetapi Trump tidak. Tekanan banyak datang dari Amerika sendiri. Banyak perusahaan raksasa Amerika yang memercayakan proses produksi atau manufakturnya ke ribuan pabrik di China, dan itu berarti Amerika akan membeli balik barang-barangnya sendiri yang diproduksi di China dengan tarif lebih mahal.
Dan lucunya, hingga saat ini malah makin mirip sebuah drama status quo yang kita nikmati. Tampaknya China pun sudah mulai kewalahan. Bagaimanapun juga, pasar Amerika terlalu besar untuk diabaikan. Seperti saat perang dingin, tak ada satu pun yang berani nekat menekan tombol bom atom perekonomian.
Dalam kunjungan saya ke Silicon Valley beberapa bulan lalu, tampak tak ada yang terlalu peduli dengan perang dagang ini. Di beberapa perusahaan yang kami kunjungi, isinya jenius-jenius dari India, China, Eropa Timur. Oh ya, ada beberapa anak muda Indonesia juga.
Sulit membayangkan bila puluhan ribu imigran cerdas yang berkarya di Silicon Valley juga harus pulang kampung karena perang dagang sudah berubah jadi spirit "America First" dan puluhan lembah silikon baru "terpaksa terus bermekaran" di pesisir China dari Shanghai, Hanzhou, Guangzhou, hingga Shenzhen. Sementara itu, Bangalore dan Hyderabad memanggil pulang putra-putri terbaik India dari Silicon Valley. Apa yang tersisa di Amerika?
Di era kolaborasi seperti saat ini, perang dagang antara Amerika dan China rasanya sudah tak relevan lagi. Seperti Amayadori, tempat berteduh dari hujan, Amerika dan China tetap perlu tempat berteduh bersama tujuh miliar lebih penduduk bumi.
Dan, masih seperti Amayadori, mungkin saja masing-masing punya impiannya sendiri-sendiri, tapi saat hujan hanya ada satu tempat berteduh.
Barangkali, Trump dan Xi sama-sama masygul, ragu, bukan takut terhadap satu sama lain, tetapi takut bahwa tindakan mereka akan menghilangkan makna kebersamaan yang sudah dibangun bersama tujuh miliar penduduk dunia yang berjanji akan saling menjaga.
Bila pun dunia ini menderita karena perseteruan mereka, biarlah suatu hari di masa depan mereka mengingatnya kembali.
"... bahwa pada saat itu kita berpisah memang benar. Sekarang kita dapat memaafkan satu sama lain. Kita hanya terlalu muda saat itu... Tada amari ni wakasugita dakedato futari, tagai ni yurushi aeru... Amayadori."
Alegori yang manis.
Dan, semoga musim gugur kali ini tak kalah indahnya dengan musim semi mendatang. Seperti manusia-manusia korporat lainnya, saya pun hanya bisa berharap dan berdoa. Spring is coming!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.