Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti IGJ: Nilai Tawar Indonesia Selalu Rendah...

Kompas.com - 12/04/2019, 20:14 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita ,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Perjanjian kerja sama bilateral Indonesia dengan negara lain dianggap hanya menguntungkan bagi negara partner.

Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ) Olisias Gultom mengatkaan, perjanjian dagang memang menguntungkan bagi Indonesia, utamanya sebagai pasar ekspor. Namun, sebagai imbal balik, Indonesia juga menerima produk impor dari mereka.

Biasanya, kata Olisias, negara lain lebih "menang banyak" ketimbang Indonesia dalam memperdagangkan produknya.

"Nilai tawar kita selalu rendah. Ketika kesepakatan dagang dilakukan, kita dalam posisi tawar lemah," ujar Olisias di Jakarta, Jumat (12/4/2019).

Baca juga: Jokowi vs Prabowo, Pilpres 2019, dan Defisit Neraca Perdagangan

Misalnya, dalam kesepakatan pengurangan tarif impor barang ke Indonesia maupun negara partner. Tarif masuk barang dari Indonesia ke luar negeri dikurangi hingga 30 persen, sementara tarif barang dari luar ke Indonesia pengurangannya lebih besar. Belum lagi permasalahan yang ditemui di internal, seperti korupsi.

"Sudah nilai tawar rendah, terus internal bermasalah. Jadi kita harus hati-hati dalam perjanjan perdagangan," kata Olisias.

Aktivis Koalisi Masyarakat Untuk Keadilan Ekonomi Kartini Samon menilai, pendandatanganan kerja sama luar negeri seolah menghilangkan kedaulatan negara. Banyak komoditas yang masuk ke Indonesia, yang mana produksinya melimpah di dalam negeri.

Ia mencontohkan, ada peternak yang mengeluhkan harga susu sapi anjlok lantaran masuknya produk susu murah dari Australia. Menurut dia, kelemahan pemerintah selama ini adalah tidak mengevaluasi kerja sama yang dijalin dengan negara lain, termasuk untung ruginya dan dampaknya kepada perdagangan dalam negeri.

"Perjanjian internasional itu lebih memberi hak ke perusahaan, bukan ke masyarakat," kata Kartini.

Lutfiyah Hanim, yang juga aktivis koalisi itu pun menganggap tak banyak komoditas di Indonesia yang bisa ditawarkan ke luar negeri. Dengan demikian, menurut dia, perjanjian perdagangan bilateral bukan sesuatu yang urgensi di lakukan.

Ia mendukung jika pemerintah ingin menaikkan angka ekspor. Namun, menurut dia, perjanjian internasional bukan solusi yang tepat karena tidak efektif. Misalnya, perjanjian kerja sama dagang dengan Uni Eropa.

Lutfiyah mengatakan, komoditas yang diperdagangkan Uni Eropa tak jauh beda dnegan Indonesia, yakni produk-produk pertanian seperti gandum, daging, susu, hingga buah-buahan.

"Kalau mau dagang dengan UE, apa yang mau kita dagangkan? Karena UE sangat kuat di sektor tani dan banyak subsidi di pertanian. Seakan kita tidak punya petani, peternakan," kata Lutfiyah.

Lutfiyah mengatakan, pola pikir yang berkembang saat ini adalah perjanjian dagang diyakini bisa meningkatkan ekspor. Namun, di sisi lain, keran impor juga dibuka.

Lutfiyah juga mengungkit perjanjian investasi yang dianggapnya tak sepenuhnya berjalan. Banyak investasi yang tak berjalan sesuai perjanjian, namun tidak dievaluasi lagi oleh pemerintah. Tak sedikit juga Indonesia menarik asing untuk berinvestasi di Indonesia, tapi Indonesia tidak berinvestasi di negara tersebut. Dengan demikian, Indonesia harus menanggung kewajibannya melindungi investor asing.

Karena tak cukup efektif, Lutfiyah meminta pemerintah menghentikan perjanjian dagang dengan negara lain.

"Makin banyak perjanjian bilateral tidak akan meningkatkan investasi asing. Jadi sebaiknya dihentikan, lakukan analisa. Semua perjanjian dagang tidak ada analisa, hanya impor berapa dan ekspor berapa," kata Lutfiyah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com