Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

Haruskah Harga Tiket Pesawat Diturunkan?

Kompas.com - 04/05/2019, 16:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bidang bisnis ini sebenarnya juga mempunyai pengaruh terhadap keselamatan dan keamanan. Karena dengan bisnis yang baik, maskapai akan sehat dan memperoleh keuntungan yang pada akhirnya juga bisa menjaga keselamatannya.

Misalnya dalam hal perawatan pesawat, training SDM, pembaruan armada dan sebagainya.
Untuk itu, Pemerintah sebagai regulator juga seharusnya bisa masuk di wilayah ini dalam batas-batas tertentu. Untuk itu Pemerintah harus kreatif dalam mengatur dan selalu mengikuti perkembangan teknologi dan zaman.

Jadi kekhawatiran Menhub Budi Karya Sumadi untuk memasuki wilayah bisnis maskapai penerbangan sebenarnya tidak masuk akal.

Evaluasi TBB dan TBA

Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh Kementerian Perhubungan untuk menyeimbangkan kepentingan maskapai bisa terus beroperasi dengan permintaan masyarakat agar harga tiket terjangkau dan tidak mengganggu pola transportasi mereka.

Menhub bisa menghentikan praktek legal adanya price leader yang saat ini dilakukan Garuda dengan cara menghapus jenis dan berbagai syarat layanan maskapai, termasuk besaran tarifnya.

Biarkan maskapai berkreasi sendiri, apakah akan menggunakan pola layanan penuh (full service) menengah (medium) dan tanpa layanan (no frills/ LCC), atau justru menggunakan pola campuran. Dengan demikian tercipta persaingan yang adil antar maskapai. Dan maskapai akan terpacu beroperasi dengan prinsip efektif dan efisien.

Agar tidak terjadi perang tarif antar maskapai dan melindungi konsumen dari tarif yang terlalu tinggi, Kemenhub bisa menerapkan tarif batas bawah (TBB) dan tarif batas atas (TBA) secara selektif dan adaptif terhadap perkembangan atau bisa cepat direvisi jika ada perubahan di masyarakat.

Untuk penerbangan antara kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Jogja, Solo, Denpasar dan Malang, tarif batas bawah dan atas bisa dinaikkan. Atau bahkan tarif batas atas bisa dihapus.

Hal ini karena perekonomian masyarakat di kota-kota tersebut sudah sangat tinggi. Dan antar kota-kota itu juga sudah tersambung dengan jalan raya dan tol serta kereta api yang bagus. Dengan demikian masyarakat bisa memilih secara rasional pola transportasi mereka.

Jika mempunyai dana lebih dan membutuhkan waktu cepat, bisa naik pesawat. Jika tidak, bisa menggunakan bus, mobil atau kereta yang lebih murah namun waktunya agak sedikit lama.

Dengan demikian maskapai juga tidak akan bisa sewenang-wenang menentukan tarif yang tinggi karena bisa saja penumpang beralih ke moda transportasi lain.

Namun maskapai juga tidak perlu cemas karena rute-rute di dalam Jawa termasuk rute terpadat. Provider penyedia analisa digital penerbangan internasional dari London, OAG, mencatat bahwa rute Jakarta-Surabaya PP sebagai rute domestik terpadat no 8 di dunia dengan 103 penerbangan per hari.

Sedangkan rute Jakarta – Denpasar PP nomor 14 dengan 87 penerbangan per hari.
Sedangkan untuk rute luar Jawa, Kemenhub bisa menurunkan tarif batas bawah dan batas atas sehingga terjangkau oleh masyarakat yang tingkat perekonomiannya belum seperti di Jawa.

Di luar Jawa juga belum ada transportasi pengganti yang setara sehingga transportasi udara sangat dibutuhkan.

Agar maskapai bersedia menjalani penerbangan di luar Jawa, bisa dilakukan subsidi silang. Maskapai yang membuka penerbangan di luar Jawa akan mendapatkan slot penerbangan tertentu di dalam Jawa. Kemenhub bisa melakukan perhitungan yang adil terkait hal ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com