Yang menarik adalah Robby Tulus telah sampaikan insight tersebut tahun 2011 pada Forum Inkopdit, bertepatan dengan apa yang terjadi di dunia industri bila merujuk rekomendasi Eric Ries di awal tulisan.
Sayangnya, pilar inovasi itu nampaknya tak berjalan secara massif dan akseleratif. Boleh jadi sebabnya karena CU abai untuk mencetak para inovatornya.
Inovasi sebagai praktik yang seringkali terlihat “belum jelas” membutuhkan energi ekstra untuk mengawalnya. Bukan hanya merespon lingkungan yang dinamis dengan aneka pendekatan baru, melainkan juga menghadapi berbagai bottle neck di internal koperasi atau gerakan.
Tanpa peran dan dukungan kelembagaan, agenda itu pasti akan menguap ditelan rutinitas dan prioritas bisnis berjalan.
Para Inovator Koperasi karenanya harus dicetak secara sengaja alih-alih alamiah. Merekalah yang akan menjadi pembawa obor bagi koperasi dan komunitasnya. Sebagai permulaan mereka bisa kita lahirkan dari rahim Akademi Inovator.
Mereka bisa berasal dari aktivis, praktisi, akademisi, peneliti atau lainnya. Selepas itu mereka bisa berhimpun bersama di Cooperative Innovation Hub (CIH) atau Simpul Inovasi Koperasi (sekali lagi "simpul", bukan "pusat") yang dijangkarkan di kampus-kampus. Baca juga tulisan saya sebelumnya: Membangun Ekosistem Inovasi pada Koperasi.
Lalu apa yang harus mereka kerjakan? Ini formulanya: (Kolaborasi + Inovasi) x Kecepatan. Kolaborasi menandai pendekatan berbasis ekosistem. Inovator tak harus seorang inventor atau penemu yang soliter berada di laboratorium. Sebaliknya orang yang secara aktif membangun ekosistem lingkungannya (ecosystem enabler).
Dalam perjumpaan seperti itulah inovasi dihasilkan sehingga bersifat hadap masalah.
Peran kedua adalah mengembangkan aneka inovasi dalam dua dimensi: sustaining innovation bagi koperasi eksisting dan disruptive innovation dengan mengembangkan model baru.
Kedua peran itu harus dilakukan dengan ritme kecepatan tertentu. Di sinilah para inovator bisa mengadaptasi pendekatan dan metode bisnis startup seperti yang direkomendasikan Eric Reis dan Dan Toma.
Salah satu yang khas dari metode startup contohnya penggunaan Design Thinking, Business Model Canvas dan tersedianya Minimum Viable Product (MVP). Dengan MVP, kecepatan bisa diraih.
Aneka metode baru seperti itu perlu diperkenalkan sebagai cara untuk meretas stagnasi berpikir dan berimajinasi.
Pada awalnya berbagai metode itu mungkin terdengar asing. Namun tak perlu berkecil hati, karena semuanya bisa dipelajari dan akan menjadi terbiasa saat digunakan berulang kali.
Agar tidak menimbulkan frustrasi di internal koperasi, para pengambil keputusan (Pengurus dan Manajer Puncak) bisa menyiapkan orang atau tim khusus, sebutlah Tim Inovasi Koperasi. Sehingga berbagai alih pengetahuan-keterampilan baru itu tak akan menganggu ritme organisasi dan bisnis yang sedang berjalan.
Tim ad hoc itu langsung bertanggungjawab kepada Pengurus atau Manajer Puncak.
Tim bisa bekerja dengan mengacu pada Piramida Inovasi yang berisi level inovasi dari yang paling mudah dengan dampak terbatas, sampai yang paling sulit dengan dampak maksimal.