KOMPAS.com - Awal bulan ini, situasi ekonomi Indonesia ternyata tak seindah lagu September Ceria yang dipopulerkan Vina Panduwinata pada 1980-an.
Lihat saja, pemimpin negara ini blak-blakan mengungkapkan kekecewaannya di hadapan para menteri saat membuka rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (4/9/2019) lalu.
Saat itu, Presiden Joko Widodo bicara panjang lebar lantaran realisasi investasi, utamanya penanaman modal asing, belum sesuai harapan, dilansir Kompas.com (4/9/2019).
Ironi justru terjadi. Pemodal asing malah menanamkan uangnya ke negara jiran seperti Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Vietnam.
Baca juga: Presiden Jokowi Kecewa Calon Investor Banyak Lari ke Negara Tetangga
Jokowi pun memaparkan, beberapa waktu lalu 33 perusahaan asal Tiongkok memutuskan untuk menanamkan investasi di luar negeri. Sayangnya, tak satu pun dari perusahaan itu yang melabuhkan modalnya ke Tanah Air.
Menurut dia, 23 dari 33 perusahaan menanamkan modalnya di Vietnam. Sisanya, ia melanjutkan, berinvestasi ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
“Enggak ada yang ke kita. Tolong ini digarisbawahi," ujar Jokowi.
Indonesia tampaknya memang tak lagi menjadi lokasi idaman bagi investor. Buktinya, imbuh Jokowi, 73 perusahaan Jepang memilih relokasi dari Indonesia pada 2017.
Tercatat, 43 perusahaan memilih menanamkan modal ke Vietnam. Lantas, 11 perusahaan lainnya pindah ke Thailand dan Filipina. Akibatnya, tinggal 10 perusahaan Jepang yang menanamkan modal di Tanah Air.
Beranjak dari fenomena itu, presiden meminta para pemangku kebijakan cermat mengatasi persoalan itu. Bukan tanpa alasan para pemodal beranjak ke Vietnam. Negara itu, kata Jokowi, memiliki regulasi yang ringkas terkait investasi.
"Kalau mau pindah ke Vietnam hanya butuh waktu 2 bulan rampung. Kita bisa bertahun-tahun. Penyebabnya hanya itu," kata dia.
Presiden Jokowi pun menginstruksikan para menteri ekonomi untuk menyisir regulasi-regulasi yang menghambat. Ia meminta para menteri maupun kepala lembaga negara melayani calon investor dan para investor dengan baik.
Investasi memang menjadi salah satu fokus Presiden Jokowi sejak 2014 dan pada periode kedua kepemimpinannya yang dimulai Oktober mendatang.
KCN merupakan perusahaan patungan antara PT Karya Teknik Utama (KTU) dengan PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) atau KBN. KCN sendiri berupa Badan Usaha Pelabuhan (BUP).
Sejak 2012, Direktur Utama KBN Sattar Taba mengajukan perubahan komposisi saham. Tuntutan itu seiring dengan rampungnya pembangunan dermaga 1 Pelabuhan Marunda. Kala itu, Sattar ingin KBN menjadi pemegang saham mayoritas di KCN dengan porsi 50,5 persen.
Pada 2013, sempat terjadi insiden pemblokiran akses menuju area pembangunan pelabuhan selama 4 bulan yang dilakukan pihak KBN. Penutupan akses tersebut, membuat KTU mau menyetujui adendum III, yaitu kepemilikan saham KBN dan KTU masing-masing 50 persen di KCN.
Dalam kesepakatan, KTU meminta KBN melengkapi syarat penambahan modal dalam kurun waktu 15 bulan. Sayangnya, KBN tidak bisa memenuhi syarat itu hingga batas yang disepakati.
“Di kemudian hari, kami tahu penambahan modal itu tidak disetujui Menteri BUMN dan Gubernur DKI Jakarta selaku pemilik saham KBN,” kata Direktur Utama PT KCN Widodo Setiadi saat jumpa pers di Hotel Borobudur Jakarta (21/8/019).
Artinya, ketentuan adendum III batal dengan adanya kesepakatan baru itu. Kesepakatan itu pun menjadi adendum IV yang dibuat oleh Jaksa Pengacara Negara. Usai penandatanganan kesepakatan, pembangunan dan aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Marunda bisa dilanjutkan.
Lantas, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunjuk KCN untuk melakukan konsesi kegiatan pengusahaan jasa kepelabuhan pada terminal KCN di Marunda. Adapun konsesi ditandai dengan penandatanganan perjanjian antara Kemenhub dengan KCN pada 16 September 2016.
Ternyata, perjanjian konsensi itu membuat KBN menggugat Kemenhub dan KCN ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Sengketa itu berlanjut ke Pengadilan Tinggi lalu Mahkamah Agung. Para pihak yang bersengketa menanti putusan hukum dari Mahkamah Agung.
Sesuai dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Badan Usaha Pelabuhan (BUP) wajib melaksanakan konsesi. Pada kenyataannya, KCN yang bekerja sama dengan Kemenhub untuk melaksanakan konsesi justru menghadapi persoalan hukum.
Padahal, apabila Pelabuhan Marunda tidak menjalankan konsesi, maka statusnya bisa turun dari pelabuhan umum menjadi pelabuhan khusus.
Yang patut dicatat, ujar Widodo, pembangunan infrastruktur itu tidak menggunakan uang negara. Ia berharap, uang yang telah diinvestasikan untuk membangun Pelabuhan Marunda tak hilang begitu saja.
Meski demikian, Widodo Setiadi menyatakan KCN tetap melanjutkan pembangunan dermaga 2 Pelabuhan Marunda.
“Komitmen kami, melanjutkan pembangunan dermaga 2 dan 3. Saat ini, pembangunan dermaga 2 sudah mencapai sekitar 30 persen,” ujar Widodo.
Adapun kuasa hukum PT KCN, Juniver Girsang, mengatakan adanya sengketa hukum tersebut tentu berdampak besar pada iklim investasi Indonesia.
Dengan adanya persoalan hukum yang dilayangkan KBN terhadap KCN, ia menambahkan, investor menilai terjadi ketidakpastian usaha.
“Ini menjadi citra negatif bagi para investor, baik lokal maupun asing. Ini merupakan bentuk tak adanya kepastian hukum dan usaha di negara ini,” ungkapnya kepada Kompas.com, Rabu (21/8/2019) lalu.