KOMPAS.com - Sore itu saya menghadiri sebuah acara yang dihadiri para tokoh terkenal. Tak hanya pejabat tinggi pemerintahan, namun juga pelaku bisnis dan eksekutif korporasi.
Semua tampak akrab dan berbaur. Namun ada dua orang yang menarik perhatian saya. Dan dua orang itu adalah konglomerat.
Keduanya adalah pemilik perusahaan yang saya ketahui saling berkompetisi, karena memiliki beberapa produk yang saling bersaing. Head to head di pasar yang sama.
Sebut saja pengusaha tersebut A dan B. Saat itu pengusaha A sudah sampai di venue acara dan menempati kursi barisan depan yang disediakan.
Di barisan yang sama dan tak jauh dari situ, tersedia kursi untuk pemilik perusahaan lain yang menjadi kompetitornya, yakni si B.
Baca juga : 6 Konglomerat Dapat Penghargaan atas Sumbangsihnya di Sektor Pajak
Saat mereka duduk dan menyadari kehadiran masing-masing, kedua konglomerat itu memilih meninggalkan tempatnya. Si A bergeser ke barisan belakang. Sementara si B memilih berdiri di samping panggung.
Saya tidak paham apa maksudnya. Tapi dari situ saya berkesimpulan keduanya saling menghindar. Mereka merasa tak nyaman ketika bertemu satu sama lain.
Di waktu yang berbeda, saya bertemu dengan pengusaha lainnya. Konglomerat juga. Dia berkisah, dia pernah “dikhianati” oleh rekan bisnisnya.
Diceritakannya, dia diminta untuk tanda tangan di sebuah lembaran surat. Namun dia tidak paham apa maksud dari tanda tangan itu. Rekannya hanya bilang, “Ini hanya sebagai formalitas.”
Belakangan dia baru tahu, ternyata surat adalah perjanjian. Akibatnya, dia kehilangan kepemilikan atas saham perusahaan yang telah dia kembangkan bersama rekannya itu.
Meski kini dia telah memiliki perusahaan sendiri dengan skala yang tak kalah besar, dia belum bisa melupakan memori pahitnya itu.
Ya, begitulah pengusaha. Saling "sikut" hingga berseteru, menjadi hal yang biasa untuk menjadi yang nomor satu. Mereka juga berupaya menguasai aset dan resources sebesar-besarnya untuk menopang kegiatan produksi.
Memang tidak semuanya begitu. Namun banyak contoh yang menunjukkan betapa para pengusaha yakin dengan paradigma kompetitif dan menguasai sebagai jalan meraih kesuksesan.
Tak dimungkiri bahwa industri konvensional, utamanya manufaktur, selama ini menjadi pengerak utama perekonomian banyak negara.
Pelaku usaha ini kerap menjadi tumpuan harapan pemerintah. Baik sebagai pembayar pajak maupun penyedia lapangan kerja. Dan, pemerintah pun sering memberikan berbagai "hadiah" berupa insentif fiskal kepada mereka.