Akan tetapi beban BLU Kesehatan saat ini cukup berat karena harus menjalankan pemeriksaan diluar kewajibannya melakukan pemeriksaan khusus untuk penerbang dan ATC.
Saat ini BLU Kesehatan terkadang harus memeriksa lebih dari 100 orang per hari karena juga harus memeriksa para awak kabin. Padahal para awak kabin tersebut adalah pemegang sertifikat, bukan license, dan tidak harus diperiksa oleh BLU kesehatan. Seharusnya mereka cukup diperiksa oleh dokter umum atau dokter perusahaan.
Apa yang terjadi pada BLU Kesehatan juga terjadi pada BLU Kalibrasi. Balai Kalibrasi mempunyai tugas untuk mengkalibrasi peralatan-peralatan navigasi penerbangan. Termasuk bandara-bandara agar peralatan atau fasilitas tersebut selalu dalam kondisi prima karena sangat menyangkut keselamatan penerbangan, seperti alat pendaratan ( ILS / VASI ), rambu-rambu ,dan lain-lain.
Pesawat kalibrasi khusus dilengkapi laboratorium terbang serta awak pesawat yang terlatih khusus untuk dapat mengkalibrasi. Namun sekarang BLU Kalibrasi justru mendapatkan AOC (Air Operator Certificate) 135 artinya juga dapat menjalankan sebagai operator charter flight dan medical evacuation.
Menggunakan pesawat kalibrasi untuk tujuan non-kalibrasi sangat lah berbahaya karena dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas peralatan kalibrasi.
Apabila Direktorat Jenderal Perhubungan Udara ingin mengoptimalkan AOC 135 maka seharusnya usaha ini dipisahkan dari BLU Kalibrasi atua diserahkan kepada BUMN yang telah ada. Jika tumpang tindih peran masih terus dilakukan maka dikhawatirkan agenda pemenuhan keselamatan penerbangan akan dikorbankan.
Hal lain yang juga penting untuk mendapat perhatian dalam isu perhubungan udara adalah banyaknya pilot yang baru lulus dari sekolah penerbang (ab initio). Jumlah pilot baru yang belum mendapat pekerjaan sampai saat ini mendekati 1000 orang.
Di lain pihak banyak pilot asing yang bekerja di maskapai dalam negeri untuk mendapatkan jam terbang dan selanjutnya kembali ke negara asal. Dengan bekal jam terbang yang dimiliki maka ia akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan di negara asalnya.
Selain persaingan yang begitu ketat, untuk melamar ke operator saja para pilot baru ini masih harus dihadapkan dengan berbagai syarat untuk dapat diterima kerja, misalnya beberapa operator mengharuskan calon pilot memiliki ATPL Frozen yang sebenarnya tidak diperlukan di Indonesia.
Apakah regulator, dalam hal ini Direktorat Jendral Perhubungan Udara, akan membiarkan saja?
Perbaikan ekosistem penerbangan Indonesia tidak dapat dilakukan secara parsial. Diperlukan payung hukum yang kokoh sekaligus adaptif dengan perkembangan zaman. Jika melihat regulasi, berbagai persoalan ini harus mendapat perhatian serius dari semua pihak.
Jika melihat UU No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan yang terlalu banyak pasal, maka perlu dilakukan perumusan ulang undang-undang yang mengatur mengenai penerbangan.
Diharapkan undang-undang baru ini terdiri dari pasal yang “kenyal” sehingga dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Untuk selanjutnya dapat dibuat peraturan-peraturan lain sebagai turunan dari pasal-pasal tersebut sesuai dengan kebutuhan.
Agenda pembenahan kondisi penerbangan sipil di Indonesia masih lah panjang. Dibutuhkan ketegasan dan konsistensi semua pihak untuk memastikan tugas dan fungsi masing-masing komponen dapat dijalankan dengang benar.
Jika tiap komponen yang terlibat mendapat beban terlalu berat sehingga mengesampingkan tugas utamanya, maka agenda perbaikan ini akan terasa semakin berat dan mustahil dapat tercapai sesuai dengan harapan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.