Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kata Pengamat Soal Natuna, Protes Saja Tidak Cukup

Kompas.com - 05/01/2020, 19:00 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Hubungan Indonesia China dalam beberapa hari terakhir tengah memanas. Ini setelah insiden masuknya kapal-kapal nelayan asal China yang dikawal kapal coast guard terdeteksi masuk ke ZEE Natuna secara ilegal.

Pemerintah Beijing mengklaim kalau kapal nelayan dan coast guard tak melanggar kedaulatan Indonesia. Dasar yang dipakai Negeri Tirai Bambu mengklaim perairan Natuna yang masuk wilayah Laut China Selatan adalah sembilan garis putus-putus atau nine dash line.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mengungkapkan protes sebagaimana yang sudah dilakukan pemerintah lewat Kementerian Luar Negeri belumlah cukup.

"Terkait berita adanya kapal Coast Guard China memasuki ZEE Indonesia di perairan Natuna dimana pemerintah melalui Kemlu sudah melakukan protes diplomatik ke pemerintah China dan memanggil Dubes Cina untuk Indonesia, apa yang dilakukan oleh Kemlu sudah tepat," kata Hikmahanto dalam keterangannya, Minggu (5/1/2020).

"Namun perlu dipahami sebanyak-banyaknya protes diplomatik oleh Kemlu tidak akan berpengaruh pada aktifitas para nelayan dan Coast Guard Cina memasuki wilayah ZEE Indonesia di Natuna," katanya lagi.

Baca juga: Peta Kekuasaan Dinasti Tang dan Klaim China Atas Natuna

Dasar yang digunakan China mengklaim sebagai pemilik hampir seluruh kawasan Laut China Selatan adalah nine dash line.

Dengan klaim sepihak itu, wilayah perairan China membentang luas sampai ke Provinsi Kepulauan Riau, yang jaraknya ribuan kilometer jauhnya dari daratan utama Tiongkok.

Wilayah yang masuk dalam nine dash line yakni melingkupi Kepulauan Paracel yang juga sama-sama diklaim Vietnam dan Taiwan, hingga laut di Kepulauan Spatly dimana China bersengketa dengan Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunai Darussalam.

"Ini karena China menganggap ZEE Natuna tidak dianggap ada. Justru yang dianggap ada adalah wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan Cina," ujarnya.

Selain nine dash line, klaim Beijing berhak atas perairan seluas hampir 3 juta kilometer persegi itu juga didasarkan argumen lain, yakni traditional fishing zone atau area penangkapan ikan tradisional.

"Oleh karenanya China akan terus melindungi nelayan-nelayan China untuk melakukan penangkapan ikan yang diklaim Indonesia sebagai ZEE Natuna," jelas Hikmahanto.

Sebaliknya yang terjadi, sambungnya, akan banyak nelayan Indonesia yang dihalau, bahkan ditindak oleh kapal Coast Guard China.

"Bahkan Coast Guard Cina akan mengusir dan menghalau nelayan-nelayan Indonesia yang melakukan penangkapan ikan," terang Hikmahanto.

"Oleh karenanya yang dibutuhkan tidak sekedar protes diplomatik oleh pemerintah Indonesia, tetapi kehadiran secara fisik otoritas perikanan Indonesia di ZEE Indonesia. Mulai dari KKP, TNI AL dan Bakamla," imbuhnya.

Selain itu, dirinya menyoroti masih sepinya perairan Natuna dari kapal-kapal nelayan lokal. Padahal, perairan tersebut salah satu yang paling kaya di Indonesia dalam hal perikanan.

"Para nelayan Indonesia pun harus didorong oleh pemerintah untuk mengeksploitasi ZEE Natuna. Bahkan para nelayan Indonesia pun dalam menjalankan aktivitas harus diberi pengawalan oleh otoritas Indonesia," ungkapnya.

Baca juga: Guru Besar UI Soal Natuna: China Mau Ngetes Prabowo Hingga Edhy

Kehadiran secara fisik wajib dilakukan oleh pemerintah karena dalam konsep hukum internasional klaim atas suatu wilayah, tidak cukup sebatas klaim di atas peta atau melakukan protes diplomatik tetapi harus ada penguasaan secara efektif (effecive control).

Penguasaan efektif dalam bentuk kehadiran secara fisik ini penting mengingat dalam Perkara Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia melawan Malaysia, Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia atas dasar ini.

Hikmahanto mengungkapkan kembalinya China datang berulah ke Natuna salah satunya karena ingin menguji menteri terkait di kabinet baru Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"China mau mengetes, sejauh mana ketegasan dan kekompakan menteri-menteri baru Jokowi dalam mengelola masalah di Laut China Selatan. Kalau soal sengketa dengan China, itu terdekat terjadi di tahun 2016," kata Hikmahanto.

Manuver China, kata dia, memang sengaja dilakukan untuk memancing reaksi pejabat Indonesia. Ini penting buat China dalam mengambil kebijakan-kebijakan geopolitik dan ekonomi di kawasan tersebut.

"Yang terbaru kan tahun 2016, kapal China masuk Natuna, Presiden Jokowi sampai langsung datang ke Natuna dan menggelar rapat di sana. Nah China mau lihat bagaimana respon pejabat sekarang," ujar Hikmahanto.

Menurutnya, selama sembilan garis putus-putus dan traditional fishing right dijadikan dasar klaim, maka China akan selalu memepetahankan keberadaan fisiknya di Natuna Utara.

"Pelanggaran atas ZEE Indonesia di Natuna Utara oleh Coast Guard China bisa jadi ditujukan untuk menguji muka baru di kabinet Jokowi dan menguji soliditas kabinet," ungkap Hikmahanto.

Baca juga: Klaim China dan Harta Karun Menggiurkan di Laut Natuna

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com