Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Perlu Diskresi untuk Koperasi Multipihak

Kompas.com - 25/11/2020, 19:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lagi-lagi realitas berlari kencang, praktik ojek online sudah massif dan juga memberi manfaat ekonomi yang besar bagi masyarakat.

Negara tidak boleh abai, jadilah keberadaan mereka baru diatur tahun 2019 melalui Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat.

Dua kasus itu adalah bentuk diskresi yang dilakukan oleh Menteri Perhubungan. Salah satu pertimbangannya adalah permakluman sebab sarana transportasi publik belum tersedia massif di Indonesia.

Di sisi lain, perkembangan zaman serba digital yang membawa aneka model bisnis baru: sharing economy, collaborative economy, dan sejenisnya.

Diskresi semacam itu lazim dan diatur juga oleh undang-undang, yalni UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Bahwa pejabat pemerintah yang berwenang, dalam sektornya masing-masing, dapat membuat diskresi.

Salah satu sebabnya ketika peraturan perundang-undangan yang ada tidak atau belum mengaturnya.

Dulu di zaman UU LLAJ Tahun 2009 belum ada bisnis aplikasi yang memungkinkan kendaraan pribadi, baik roda empat atau roda dua, berpelat hitam menjadi angkutan.

Namun dengan adanya teknologi digital, platform dapat mengorkestrasi pemanfaatan aset pribadi itu.

Hal yang sama juga bisa dilakukan oleh Menteri Koperasi untuk mengatur apa-apa yang tidak ada di dalam undang-undang. Di lapangan para notaris selalu bilang bahwa model multipihak seperti itu tidak ada aturannya.

Namun perlu kita ingat, bahwa apa-apa yang tidak ada aturannya itu tidak sama dengan dilarang.

Untuk kasus-kasus di mana tiada aturan yang mengatur (membolehkan atau melarang), postulat hukum ini bekerja, "Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali".

Artinya kurang-lebih, tidak ada satu pun larangan kecuali telah diatur secara tegas di dalam undang-undang.

Dengan penalaran itu, koperasi multipihak bisa masuk di dalamnya. Statusnya boleh sejauh tidak ada aturan yang melarangnya.

Baca juga: Menkop Teten: UU Cipta Kerja Buka Ruang Konsolidasi Data Tunggal Koperasi dan UMKM

Pada ruang seperti itu, saya berharap Menteri Koperasi, dalam kewenangannya, bisa menerbitkan Peraturan Menteri yang mengatur khusus tentang Status dan Kelembagaan Koperasi multipihak di Indonesia.

Sampai kemudian, ketika norma itu terlembaga, kita bisa memasukkannya ke dalam undang-undang perkoperasian yang baru.

Hal itu logikanya seperti regulatory sandbox yang bertujuan untuk menyerap dan meregulasi berbagai inisiatif baru serta inovasi yang berkembang di masyarakat.

Saya merasa hal itu bisa menjadi jalan tengah di antara kebuntuan yang ada. Toh tradisi inovatif itu telah dimulai oleh Presiden Joko Widodo dengan inisiatif omnibus law yang sebelumnya tak dikenal dalam tradisi hukum di Indonesia.

Pak Menteri, kami yakin dengan diskresi semacam itu kita bisa melakukan lompatan pengembangan koperasi: mulai dari sektor riil, sektor digital serta sektor-sektor strategis lainnya.

Kuncinya adalah mengolaborasikan para pihak yang terlibat dalam rantai bisnisnya sehingga kita memiliki daya ungkit yang besar.

Dulu, Italia membutuhkan waktu 40an tahun sampai kemudian model multipihak diatur resmi, baiknya kita semua tak harus menunggu selama itu, bukan?

Saya pikir hal ini akan menjadi legacy baru sebagai tonggak perubahan koperasi hari ini dan mendatang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com